10 PUISI UNTUK NEGERI
Wajah Menggambar Sendiri
Saya sering heran
melihat begitu pintar orang
menggambar wajah fantasi
Melukis muka dari yang asli
menjadi wajah yang beda
membuat saya tidak kenal
~ Mas Eko Sombong
+ Lo ini siapa
- Ursul Mas
+ Saya kira artis tadi
~ Arisan kali!
Sungguh saya pangling
juga rambutnya rebonding
pakai warna keemasan
Lalu busana bagai kemasan
yang menambah jadi makin
lebih hidup dari manekin
~ Mas Eko mau tanya apa
+ Ursul sekolah kecantikan?
~ Kursus masak iya
+ Atau pelukis barangkali
~ Peluk and kiss kali!
Sungguh saya kagum
ini benar era milenium
aroma keju mall dan parfum
Zaman bersih dari kotor
jadi cepat sebatas eskalator
kemiskinan tergerus traktor
~ Mas Eko tanya lagi dong
+ Bagaimana kamu bisa makan
~ Pakai gigi Mas
+ Maaf apa boleh cium?
~ Ah jangan nanti luntur..!
Semarang 4 Agustus 2017
Sepi
~ Kepada penyair sufi
Seharusnya kamu berterimakasih
kepada sepi. Sebab berkat jasanya
kamu banyak menulis puisi. Tidak memusuhinya dan membencinya dengan rasa sepi.
Tiap berpapas dengan sepi kamu
membuang muka. Padahal sepi
selalu menyapa: selamat malam
anak manis apa kabarmu di hari
yang sepi ini...
Apa salah sepi coba, memangnya
dia menistamu. Atau mengajakmu unjukrasa. Toh dia nggak meminta
imbalan apa pun dari sepi yang ia
berikan kepadamu.
Kalau kamu jadi sedih kalau kamu menangis gegara kedatangannya, mengapa kamu tertawa saat dia berpamit pergi. Itu kan kamu jadi nggak adil pada sepi.
Cobalah sekali waktu ajak si sepi minum kopi. Dia suka kopi dengan pahit sempurna. Menghirup pelan seirama angin dingin, serasa kopi
yang kamu hirup sepi.
Kamu pun menulis puisi dengan rasa sepi. Kamu lalu membacanya dengan kebahagiaan diri seorang penyair. Dan kala kau jadi bintang, kamu melupakan sepi.
Sungguh yang kamu lakukan pada sepi itu: jahat..!
Semarang 8 Juni 2017
Penyair Kopi
Penyair menuliskan rasa
bukan kata
Sebagaimana kopi bukan
yang di cangkir
Tapi saat kau menghirupnya
itulah kopi
Ibaratnya kopi di cangkir
itulah kata
Tapi saat kau merasakannya
itulah puisi
Terlebih saat kau meresapkan
nikmatnya dari Tuhan
Jadi rasa itu bukan di
diri kita
Bukan pula di luar
diri kita
Rasa ialah di antaranya
kita dan Tuhan
Itu mungkin sebabnya
penyair suka kopi
Merasakan pahitnya saat
menghirupnya
Lalu menulis puisi
dengan rasa
Penyair sadar hidupnya
bukan di otak
Bukan di jantung hati
tempat ego
Sebabnya toh otak banyak
di warung padang
Manusia dengan sendirinya
berotak
Manusia dengan sendirinya
berjantung hati
Tak lain sebabnya manusia
bukanlah robot
Nah mari kita minum kopi
bersama
Kemudian penyair akan kembali
sendiri
Menulis puisi dengan rasa
kopi pahit
Lalu mengapa kopi itu
pahit
Sebabnya hidup itu memang
pahit
Dan penyair mesti menulis
pahitnya hidup
Secangkir kopi bisa jadi
air biasa
Saat para kucing kerah
dan air jauh
Kau bisa guyur para kucing
dengan kopimu
Lalu berapa jumlah penyair
tanya Teha
Jawabnya tanyalah pada
diri
Apakah engkau penyair
atau kucing
Semarang 19 Mei 2017
Burung Ayah
Ayahku punya burung
namanya burung ayah
Tidak di dalam sangkar
tapi merasuk dalam angan
Aku sangat ingin melihatnya
tapi ayah janji melulu
Kata ayah burung itulah
yang menyebabkan aku ada
Setiap aku bertanya ibu
selalu beliau tertunduk malu
Kemudian berkata: burung ini
bukan burung biasa anakku
Satu hari ayah bawa burungnya
lalu memasangnya di dinding
Apakah bisa terbang tanyaku
dalam angan langit bebas
Terbanglah bersama kata ibu
tapi jangan terlalu tinggi
Bagaimana kalau aku jatuh
tanyaku lihat burung itu diam
Kau akan jatuh di pelukan ibu
tapi kau akan terbang sendiri
Kau akan jadi burung perkasa
dan namamu..ah rahasia...
Semarang 1 Juni 2017
Kematian
Aku ingin banget melihat matiku
saat aku meninggalkan jasadku
Aku lihat isteriku nangis sebentar
lalu sibuk di dapur seperti biasa
Dua anak perempuanku berdandan
lalu menyambut teman-temannya
Tiga anak lelakiku tertawa-tawa
sebab anak lelaki musuh bapaknya
"kalau tidak mau jadi apa kalian..."
Tetangga pun menata jenazahku
mengeluarkan kursi pasang tenda
Mereka bicara tentang penyakitku
kalau nggak sakit mana bisa mati
Saudara-saudaraku berdatangan
membawa makanan kesukaanku
Mereka lantas ramai merumpi
pamer sukses dan mobil baru
"aku pamer apa selain buku..."
Teman-temanku banyak bertaziyah
yang sibuk kirim karangan bunga
Mereka asik ngobrol ngalor-ngidul
tentang sifat kacau dan kocakku
Jenazahku pun dibawa ke makam
aku ikut mengarak paling depan
Bolehlah Tuhan kasih gerimis
supaya dramatis macam teater
"tanam jasadku tapi tidak berdiri..."
Kematianku kemudian diperingati
kolegaku membuat panggung seni
Ada baca puisi atau performance
sok dikait dengan jalan hidupku
Aku ngapain selain pamer lukisan
orasi, baca puisi, monolog lucu
Sebab tak seperti kalian pas-pasan
semua bisa kecuali pidato pejabat
"aku kan sangat disayang Tuhan..."
Semarang 3 Juni 2017
Balon Waktu
Anakku ada lima
rupa-rupa rupanya
Tiga lelaki dua perempuan
si bungsu malah kembar dampit
laki-laki perempuan
Semuanya hidup
tidak ada yang meletus
Kami menikah terlambat
aku tiga enam isteri tiga empat
Bahkan dua tahun tidak beranak
Eh setelah lahir anak pertama
terus jadi keterusan
Ya apa boleh buat
kami memang tidak ikut kabe
Wah bagaimana ini
mengurus anak lima
Isteri bekerja sampai sore
aku seniman rumahan
Ya sudahlah
aku jadi bapak rumahtangga
berpuisi sambil menjaga anak
Pernah kami punya pembantu
padahal kamar cuma dua
Satu saat dia menimang anak
menyuapi sambil berdendang
Aku deg-degan dengar suaranya
Waduh bagaimana ini
dia menyanyi lagu genjer-genjer
Anakku ada lima
nggak terasa sudah besar
sudah bekerja semua
Seperti baru kemarin saja
Satu saat mereka berembuk
lalu menyampaikan hasilnya
mulai kini bapak pensiun saja
Waktu terasa begitu singkat
apalagi setiap tiba lebaran
Anak-anak berkumpul
makan lontong opor bersama
lalu saling minta maaf
Aku diam-diam selalu membatin
waktu itu bagaimana rupanya
Apakah waktu ada lima
rupa-rupa rupanya
Jam, hari, minggu, bulan, tahun
Kadang ada juga yang meletus
entah bulan apa tahun berapa
Aku selalu lupa
pun mereka tak mengingatnya
Itu mungkin sebabnya
mengapa waktu cepat berlalu
Lalu aku makin tua
sebentar lagi meninggal dunia
Hari apa bulan apa
mungkinkah tanggal lima dan
aku serupa balon meletus...
Dor!
apa warnanya?
Semarang 3 Juni 2017
Malu
Ini 2017 sebelum 2018
menjelang 2019
Kita bahkan tahu apa yang akan terjadi ke depan
Bukan macam pembuat sejarah atau ramalan Jayabaya
Tapi justru karena kita penyair dan rakyat biasa sabar
Alkisah di ini negeri ma'nyos sang blasteran paman samtrump
Terajulah setiap muka pasang
topeng manusia
Pasang badan tidak hanya
para saudara oom
Tapi juga pedagang dari kedai
kopi hingga parlemen
Bukan sekadar teriakan jalanan
om tolalet om
Tapi milyar triliun atas setoran Partai Korupsi Indonesia
Yang sudah benderang atau masih di bawah meja
Tidak ada lagi etika politik
atau moral agama
Sekali lagi kita semua ini penyair
dan rakyat negeri
Kita tulis puisi yang kita percuma
dapatkan keindahan
Lalu rakyat dari hari ke hari
menanggung malu:
Nonton lakon keuangan yang
tidak adil dan tidak beradab
Halo dokter siapkan obat baru
untuk penyakit malu kami...
Semarang 24 Juli 2017
Selalu Ingin
: Ria Idroes, Hamzah Ismail, dan saudara-saudaraku di Mandar
Aku selalu ingin menulis sajak paling sederhana untukmu
Tentang kota lalu kamu yang tinggal bekerja untuk anak
Tentang apa saja yang hadir dengan atau tanpa alasan
Di Mandar aku mengenal siapa maradia apa balanipa
Ikan tongkol dan sapi memberi makan Kahar Muzakar
Aneh ke sana aku selalu ingin pulang membawa kuda
Inditia tumuane banang pute sarana musik terbawa angin
Batok kelapa dan bambu jadi calong pengusir hama
Aku mandi di sungai bersama para ibu berkain cuma
Terdengar di televisi petani reformasi terjadi di negeri
Ini nagari pembuat pinisi berlayar sampai Madagaskar
Ingatlah kalian yang berseteru antara saudara sendiri
Inggo di linggo manggo nyanyi sunyi nelayan di tengah laut
Ini puisiku untuk mereka yang menarung nasib hidup mati
Baik buruk merekalah anak syairku dilampus waktu ruri
Dilampau kerja saudaraku di tanah-tanah dilupakan sejarah
O Tator Bugis dan saudara Amana Gapa para rakyat sejati
Di bahumu aku melihat nagari terpanggul menjadi negeri
Semarang 5 Oktober 2017
Heran
Heran saja ini jaman milenial
tapi kamu bicara kolonial
Di Batavia kapal berlabuh
dan kerja keras para buruh
Camar berkabar tentang kamu
tertunduk dalam hari terjemu
Napasmu terhela kata merdeka
terbebas dari tiang feodal
Tapi kapal baru dan ancaman
perang antar ras di tiap zaman
Gelombang laut di samodramu
lebih besar dari laut arafuru
Jadi apa terjadi di pantai utara
saat sejarah terbalik meraya
Anak-anak dari langit Jakarta
bertanya di tengah khaos kota
Kami sedang bergerak maju
tapi ke mana pikiranmu menuju
Semarang 17 Oktober 2017
Malam Merah
Tak ada malam di jazirah
Berat memanggul sejarah
Seperti katamu pada puisi
Hanya ada janji demarkasi
Atau beban ini jadi biasa
Antara bertahan atau binasa
Mengapa mesti mengada
Bukankah kita sungguh ada
Masih bertanya tentang sekutu
Padahal hakikatnya kita seteru
Hingga akhir kisah manusia
Selalu disesali karena tersia
Begitulah sejak adam makrifat
Yudha terjadi sepanjang hayat
Ialah karena beda jenis kelamin
Atau mazab alif hingga amin
Pun ideologi dunia diciptakan
Tak kan perang terselesaikan
Semarang 15 Oktober 2017
Wajah Menggambar Sendiri
Saya sering heran
melihat begitu pintar orang
menggambar wajah fantasi
Melukis muka dari yang asli
menjadi wajah yang beda
membuat saya tidak kenal
~ Mas Eko Sombong
+ Lo ini siapa
- Ursul Mas
+ Saya kira artis tadi
~ Arisan kali!
Sungguh saya pangling
juga rambutnya rebonding
pakai warna keemasan
Lalu busana bagai kemasan
yang menambah jadi makin
lebih hidup dari manekin
~ Mas Eko mau tanya apa
+ Ursul sekolah kecantikan?
~ Kursus masak iya
+ Atau pelukis barangkali
~ Peluk and kiss kali!
Sungguh saya kagum
ini benar era milenium
aroma keju mall dan parfum
Zaman bersih dari kotor
jadi cepat sebatas eskalator
kemiskinan tergerus traktor
~ Mas Eko tanya lagi dong
+ Bagaimana kamu bisa makan
~ Pakai gigi Mas
+ Maaf apa boleh cium?
~ Ah jangan nanti luntur..!
Semarang 4 Agustus 2017
Sepi
~ Kepada penyair sufi
Seharusnya kamu berterimakasih
kepada sepi. Sebab berkat jasanya
kamu banyak menulis puisi. Tidak memusuhinya dan membencinya dengan rasa sepi.
Tiap berpapas dengan sepi kamu
membuang muka. Padahal sepi
selalu menyapa: selamat malam
anak manis apa kabarmu di hari
yang sepi ini...
Apa salah sepi coba, memangnya
dia menistamu. Atau mengajakmu unjukrasa. Toh dia nggak meminta
imbalan apa pun dari sepi yang ia
berikan kepadamu.
Kalau kamu jadi sedih kalau kamu menangis gegara kedatangannya, mengapa kamu tertawa saat dia berpamit pergi. Itu kan kamu jadi nggak adil pada sepi.
Cobalah sekali waktu ajak si sepi minum kopi. Dia suka kopi dengan pahit sempurna. Menghirup pelan seirama angin dingin, serasa kopi
yang kamu hirup sepi.
Kamu pun menulis puisi dengan rasa sepi. Kamu lalu membacanya dengan kebahagiaan diri seorang penyair. Dan kala kau jadi bintang, kamu melupakan sepi.
Sungguh yang kamu lakukan pada sepi itu: jahat..!
Semarang 8 Juni 2017
Penyair Kopi
Penyair menuliskan rasa
bukan kata
Sebagaimana kopi bukan
yang di cangkir
Tapi saat kau menghirupnya
itulah kopi
Ibaratnya kopi di cangkir
itulah kata
Tapi saat kau merasakannya
itulah puisi
Terlebih saat kau meresapkan
nikmatnya dari Tuhan
Jadi rasa itu bukan di
diri kita
Bukan pula di luar
diri kita
Rasa ialah di antaranya
kita dan Tuhan
Itu mungkin sebabnya
penyair suka kopi
Merasakan pahitnya saat
menghirupnya
Lalu menulis puisi
dengan rasa
Penyair sadar hidupnya
bukan di otak
Bukan di jantung hati
tempat ego
Sebabnya toh otak banyak
di warung padang
Manusia dengan sendirinya
berotak
Manusia dengan sendirinya
berjantung hati
Tak lain sebabnya manusia
bukanlah robot
Nah mari kita minum kopi
bersama
Kemudian penyair akan kembali
sendiri
Menulis puisi dengan rasa
kopi pahit
Lalu mengapa kopi itu
pahit
Sebabnya hidup itu memang
pahit
Dan penyair mesti menulis
pahitnya hidup
Secangkir kopi bisa jadi
air biasa
Saat para kucing kerah
dan air jauh
Kau bisa guyur para kucing
dengan kopimu
Lalu berapa jumlah penyair
tanya Teha
Jawabnya tanyalah pada
diri
Apakah engkau penyair
atau kucing
Semarang 19 Mei 2017
Burung Ayah
Ayahku punya burung
namanya burung ayah
Tidak di dalam sangkar
tapi merasuk dalam angan
Aku sangat ingin melihatnya
tapi ayah janji melulu
Kata ayah burung itulah
yang menyebabkan aku ada
Setiap aku bertanya ibu
selalu beliau tertunduk malu
Kemudian berkata: burung ini
bukan burung biasa anakku
Satu hari ayah bawa burungnya
lalu memasangnya di dinding
Apakah bisa terbang tanyaku
dalam angan langit bebas
Terbanglah bersama kata ibu
tapi jangan terlalu tinggi
Bagaimana kalau aku jatuh
tanyaku lihat burung itu diam
Kau akan jatuh di pelukan ibu
tapi kau akan terbang sendiri
Kau akan jadi burung perkasa
dan namamu..ah rahasia...
Semarang 1 Juni 2017
Kematian
Aku ingin banget melihat matiku
saat aku meninggalkan jasadku
Aku lihat isteriku nangis sebentar
lalu sibuk di dapur seperti biasa
Dua anak perempuanku berdandan
lalu menyambut teman-temannya
Tiga anak lelakiku tertawa-tawa
sebab anak lelaki musuh bapaknya
"kalau tidak mau jadi apa kalian..."
Tetangga pun menata jenazahku
mengeluarkan kursi pasang tenda
Mereka bicara tentang penyakitku
kalau nggak sakit mana bisa mati
Saudara-saudaraku berdatangan
membawa makanan kesukaanku
Mereka lantas ramai merumpi
pamer sukses dan mobil baru
"aku pamer apa selain buku..."
Teman-temanku banyak bertaziyah
yang sibuk kirim karangan bunga
Mereka asik ngobrol ngalor-ngidul
tentang sifat kacau dan kocakku
Jenazahku pun dibawa ke makam
aku ikut mengarak paling depan
Bolehlah Tuhan kasih gerimis
supaya dramatis macam teater
"tanam jasadku tapi tidak berdiri..."
Kematianku kemudian diperingati
kolegaku membuat panggung seni
Ada baca puisi atau performance
sok dikait dengan jalan hidupku
Aku ngapain selain pamer lukisan
orasi, baca puisi, monolog lucu
Sebab tak seperti kalian pas-pasan
semua bisa kecuali pidato pejabat
"aku kan sangat disayang Tuhan..."
Semarang 3 Juni 2017
Balon Waktu
Anakku ada lima
rupa-rupa rupanya
Tiga lelaki dua perempuan
si bungsu malah kembar dampit
laki-laki perempuan
Semuanya hidup
tidak ada yang meletus
Kami menikah terlambat
aku tiga enam isteri tiga empat
Bahkan dua tahun tidak beranak
Eh setelah lahir anak pertama
terus jadi keterusan
Ya apa boleh buat
kami memang tidak ikut kabe
Wah bagaimana ini
mengurus anak lima
Isteri bekerja sampai sore
aku seniman rumahan
Ya sudahlah
aku jadi bapak rumahtangga
berpuisi sambil menjaga anak
Pernah kami punya pembantu
padahal kamar cuma dua
Satu saat dia menimang anak
menyuapi sambil berdendang
Aku deg-degan dengar suaranya
Waduh bagaimana ini
dia menyanyi lagu genjer-genjer
Anakku ada lima
nggak terasa sudah besar
sudah bekerja semua
Seperti baru kemarin saja
Satu saat mereka berembuk
lalu menyampaikan hasilnya
mulai kini bapak pensiun saja
Waktu terasa begitu singkat
apalagi setiap tiba lebaran
Anak-anak berkumpul
makan lontong opor bersama
lalu saling minta maaf
Aku diam-diam selalu membatin
waktu itu bagaimana rupanya
Apakah waktu ada lima
rupa-rupa rupanya
Jam, hari, minggu, bulan, tahun
Kadang ada juga yang meletus
entah bulan apa tahun berapa
Aku selalu lupa
pun mereka tak mengingatnya
Itu mungkin sebabnya
mengapa waktu cepat berlalu
Lalu aku makin tua
sebentar lagi meninggal dunia
Hari apa bulan apa
mungkinkah tanggal lima dan
aku serupa balon meletus...
Dor!
apa warnanya?
Semarang 3 Juni 2017
Malu
Ini 2017 sebelum 2018
menjelang 2019
Kita bahkan tahu apa yang akan terjadi ke depan
Bukan macam pembuat sejarah atau ramalan Jayabaya
Tapi justru karena kita penyair dan rakyat biasa sabar
Alkisah di ini negeri ma'nyos sang blasteran paman samtrump
Terajulah setiap muka pasang
topeng manusia
Pasang badan tidak hanya
para saudara oom
Tapi juga pedagang dari kedai
kopi hingga parlemen
Bukan sekadar teriakan jalanan
om tolalet om
Tapi milyar triliun atas setoran Partai Korupsi Indonesia
Yang sudah benderang atau masih di bawah meja
Tidak ada lagi etika politik
atau moral agama
Sekali lagi kita semua ini penyair
dan rakyat negeri
Kita tulis puisi yang kita percuma
dapatkan keindahan
Lalu rakyat dari hari ke hari
menanggung malu:
Nonton lakon keuangan yang
tidak adil dan tidak beradab
Halo dokter siapkan obat baru
untuk penyakit malu kami...
Semarang 24 Juli 2017
Selalu Ingin
: Ria Idroes, Hamzah Ismail, dan saudara-saudaraku di Mandar
Aku selalu ingin menulis sajak paling sederhana untukmu
Tentang kota lalu kamu yang tinggal bekerja untuk anak
Tentang apa saja yang hadir dengan atau tanpa alasan
Di Mandar aku mengenal siapa maradia apa balanipa
Ikan tongkol dan sapi memberi makan Kahar Muzakar
Aneh ke sana aku selalu ingin pulang membawa kuda
Inditia tumuane banang pute sarana musik terbawa angin
Batok kelapa dan bambu jadi calong pengusir hama
Aku mandi di sungai bersama para ibu berkain cuma
Terdengar di televisi petani reformasi terjadi di negeri
Ini nagari pembuat pinisi berlayar sampai Madagaskar
Ingatlah kalian yang berseteru antara saudara sendiri
Inggo di linggo manggo nyanyi sunyi nelayan di tengah laut
Ini puisiku untuk mereka yang menarung nasib hidup mati
Baik buruk merekalah anak syairku dilampus waktu ruri
Dilampau kerja saudaraku di tanah-tanah dilupakan sejarah
O Tator Bugis dan saudara Amana Gapa para rakyat sejati
Di bahumu aku melihat nagari terpanggul menjadi negeri
Semarang 5 Oktober 2017
Heran
Heran saja ini jaman milenial
tapi kamu bicara kolonial
Di Batavia kapal berlabuh
dan kerja keras para buruh
Camar berkabar tentang kamu
tertunduk dalam hari terjemu
Napasmu terhela kata merdeka
terbebas dari tiang feodal
Tapi kapal baru dan ancaman
perang antar ras di tiap zaman
Gelombang laut di samodramu
lebih besar dari laut arafuru
Jadi apa terjadi di pantai utara
saat sejarah terbalik meraya
Anak-anak dari langit Jakarta
bertanya di tengah khaos kota
Kami sedang bergerak maju
tapi ke mana pikiranmu menuju
Semarang 17 Oktober 2017
Malam Merah
Tak ada malam di jazirah
Berat memanggul sejarah
Seperti katamu pada puisi
Hanya ada janji demarkasi
Atau beban ini jadi biasa
Antara bertahan atau binasa
Mengapa mesti mengada
Bukankah kita sungguh ada
Masih bertanya tentang sekutu
Padahal hakikatnya kita seteru
Hingga akhir kisah manusia
Selalu disesali karena tersia
Begitulah sejak adam makrifat
Yudha terjadi sepanjang hayat
Ialah karena beda jenis kelamin
Atau mazab alif hingga amin
Pun ideologi dunia diciptakan
Tak kan perang terselesaikan
Semarang 15 Oktober 2017
0 Comments