Disqus for langgart

Anak-Anak Cempedak: Puisi Kampungan Agustinus Wahyono

Agustinus Wahyono*


ANAK-ANAK CEMPEDAK

Sayup-sayup suaramu
Sayap-sayap tumbuh di kepalaku.

Melesatlah aku.
Lenyaplah sekat-sekat. Hilanglah waktu.
Mendarat di permukaan tanah kelabu
Tanpa penanda-penanda ruang.
Aku dan kamu

Kanak-kanak adalah kawan-kawan bermain
Pistol kertas. Kuda pelepah pisang.
Topi koboi. Ikat kepala indian.
Berlarian aku dan kamu di antara
Sepasang batang cempedak bercumbu

Suaramu sekonyong-konyong senyap.
Di bawah anyaman daun kelapa
Membungkus buah-buah cempedak.
Sarang tabun guci yang coklat.
Batu-batu menuju sarangnya.
Berlarian aku menjauhi cempedak.

Dan, aku hanya sendiri dengan
Sepasang sayap rapuh
Di antara dua batang cempedak
Tanpa suaramu

Panggung Renung – Balikpapan, 2015




WAKTU BERHENTI DI KURSI ROTAN


Aku duduk di kursi rotan di serambi panggung di punggung-punggung lambaian celana dalam kutang baju celana sprei di atas atap-atap seng karat yang letih menuliskan dongeng-dongeng hijau coklat berganti. Bambu-bambu tidak bosan mendengar oceh celoteh pencontek sinetron ibukota. Atau sebenarnya bambu-bambu sudah melambai-lambai kepadaku. Menyerah pada tempat tidak semestinya. Menyerah pada pergantian kalender-kalender.

Kursi rotan memapah patah langkahku. Waktu berhenti mendadak ketika didongengkannya orang-orang yang pernah dipangkunya. Orang-orang yang telah berangkat. Bergegas ataupun pas waktunya. Seperti serangkaian film dokumenter tengah dipaparkan.

Aku melihat anggur-anggur dituangkan pada cawan-cawan malam. Bara arang menguar rayuan ikan bakar. Orang-orang tertawa. Menertawai peristiwa-peristiwa. Elvis Presley, Frank Sinatra, Andy William, Marlyn Monroe, Kennedy, Mohammad Ali, Jose Rizal, Soekarno, Fidel Castro. Seperti sebuah kenduri keluarga pada plesir berubah-ubah.

Kenduri-kenduri adalah waktu-waktu penting yang masih terpahat pada kulit kursi totan pudar bedaknya. Namun aku tidak pernah berada dalam kenduri-kenduri. Hanya mendengar dongeng-dongengnya menghentikan waktu di sana. Menuangkan anggur. Mengatur bara. Meletakkan ikan bakar. Tuan-tuan. Puan-puan. Berdansa. Hingga angin menyalin kursi.

Asap berganti obat di kursi roda. Sampai pada ruang bedah. Usus yang hangus. Anggur-anggur menjadi airmata-airmata. Isak-isak mencekik bidang-bidang. O, alangkah kencang roda kursi membawa tawa. Langkah-langkah patah pun telah menjauh. Waktu kembali pada lambaian bambu-bambu celana dalam kutang baju celana sprei di atas atap-atap seng karat yang letih. Aku masih duduk di kursi rotan di serambi panggung.

Panggung Renung – Balikpapan, 2015






*Agustinus Wahyono; berasal dari Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka (Babel), bersekolah menengah atas dan selesai kuliah bidang Arsitektur di Yogyakarta, pernah merantau ke Jakarta, dan kini menjadi arsitek mandiri di Balikpapan, Kaltim.
 Puisi-puisinya tergabung dalam beberapa antologi bersama, misalnya Di Bawah Payung Hitam (Proyek Seni Indonesia Berkabung, Yogyakarta, 2015), Kalimantan : Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Banjarbaru-Disporabudpar Kalsel, 2015),  Tifa Nusantara 2 (Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang-Dispobudpar Kabupaten Tangerang, Banten, 2015) Buletin Jejak (Forum Sastra Bekasi, Jawa Barat, 2015), dan lain-lain. 

Post a Comment

0 Comments