Oleh: Eko Tunas*
Agak menggembirakan situasi Pilpres
kini, dibanding pemilu yang pernah ada di setiap orde. Hampir semua anggota
masyarakat, tersedot dalam kesempatan lima tahunan yang disebut pesta. Saya
saksikan ibu-ibu terkurangi kebiasaan ngrumpi, atau ngobrol hal-hal
remeh-temeh. Juga dalam ber-bbm, mereka tidak lagi saling tanya, “masak apa,
Bu?” lalu dijawab dengan foto: sayur bayam. Bbm mereka kini saling berkirim
foto Capres pilihan, ditambah alasan simpati masing-masing.
Ajaib, ini sungguh ajaib, Pilpres
menuai pencerdasan!
Di warteg, penjual dan para
pelanggan ramai membicarakan Pilpres, lengkap dengan pemikiran politik mereka.
Tidak ada lagi omong-omong soal klenik atau takhayul, tentang pocong,
kuntilanak, tuyul. Lagi, ada pencerahan, saat obrolan agak melenceng, mereka
memuji perubahan sikap Ki Joko Bodo. Betapa paranormal ngetop itu kini telah
insyaf, dan mewakafkan rumahnya sebagai rumah ibadah. Alhamdulilah...
Di tengah obrolan gayeng itu,
terjadi dialog antara Jablud dan Darbol.
Jablud: Nomer berapa, Bol?
Darbol: Duabelas
Jablud: Kok ngawur banget, satu-dua...
Darbol: Suka-suka dong!
Jablud: Kamu golput, ya?
Darbol: Apa golput?
Jablud: Golongan putih.
Darbol: Lo, kan memang kupon putih, mana ana kupon hitam?
Jablud: Lo, kok kupon, kartu..!
Darbol: Kupon!
Jablud: Kartu, kartu pemilihan!
Darbol: Kupon togel, nggak ada kartu togel..!
Jablud: La la, saya bukan tanya nomer togel...
Darbol: La, tanya apa?
Jablud: Kamu pilih Capres nomer berapa..?
Semua yang ada di warung pun tertawa
tergelak-gelak, sampai ada yang kesenggruk saat makan.
Sungguh hebat, menggembirakan,
mengharukan, penuh pertemanan dan persaudaraan.
Di media sosial lebih dahsyat lagi,
progresif, dinamis.
Hanya ada kecemasan, termasuk dari
para ahli, atau tokoh yang berkata, “gara-gara Pilpres bangsa ini terbelah...”
Keterbelahan atas beda sikap politik dan simpati ideologi, khususnya dalam
ngugemi pilihan masing-masing. Hingga muncul yang disebut fitnah, tanpa
menyadari mengapa ada kecenderungan fitnah. Tanpa menyadari, dasar apa yang
membuat orang memfitnah di satu sisi, dan mengkritik di pihak lain.
Jawabannya sebenarnya simpel, mudah:
orang bodoh memfitnah, orang cerdas mengkritik. Jadi, apakah orang bodoh atau
manusia cerdas itu bersalah atau berdosa?
Selanjutnya kita sedang takzim
berpuasa, mari kita fokus pikiran, rampingkan hati, mencoblos pilihan
masing-masing.
Siapa pun Presiden terpilih,
sejatinya itulah pemimpin pilihan Allah...
Sungguh, pemilu terindah.....
*Eko Tunas; Budaywan dan Seniman
serba bisa.
Penasehat LanggArt Indonesia
0 Comments