Disqus for langgart

The End Of Ulama, Politik Transaksional



Siang itu tamu datang menemui Kiai Cungkring, namanya Bedjo dari Kota Wali. Tampaknya dua orang tersebut lagi berbicara beragam persoalan. Karena hidup adalah persoalan itu sendiri, kalau tidak ada soal tentu kita tidak dapat mengerjakan tugas untuk menyelesaikan meskipun ada larangan memberikan persoalan bagi anak-anak sekolah.

Sesungguhnya Kiai Cungkring sudah jenuh dengan politik transaksional maupun politik transfer. Akan tetapi kisah-kisah di kampung itu lebih enak dinikmati daripada kisah sinetron kaum birokrat kelas atas. Biarlah kisah sinetron birokrat kelas atas tersebut menjadi urusan politikus dan konsultan politik serta orang-orang yang masih berusaha menjadi praktisi politik.

Kisah di Kampung ini terjadi di kampungnya Bedjo. Ia menuturkan bawasanya untuk menjadi aparatur pemerintah desa saja harus berani bayar tujuh puluh juta. Itupun termasuk paling murah di kampungnya, dibandingkan dengan kampung-kampung lain yang mencapai ratusan juta lebih. Dari tahun ke tahun urusannya uang, uang, dan uang. Itu masih aparatur pemerintah desa, apalagi kalau ingin jadi pimpinan aparatur pemerintah desa harus memiliki modal yang besar.

“Dimanakan peran ulama maupun kiai mengubah tatanan semacam itu. Padahal setiap akan ada pencalonan para kiai dan ulama disowani,” ucap Bedjo

Kiai Cungkring tercengang. Lho..lho kok bawa-bawa nama kiai dan ulama, inikan urusan strukturalis. Namun Bedjo memiliki hak asasi untuk mempertanyakan, menggugat dan memprotes keadaan semacam ini.

“Para Kiai dan Ulama sekarang ini sudah kehilangan spiritualnya, strukturalnya harusnya mampu dipengaruhui dengan jiwa spiritualnya. Bahaya jika para kiai dan ulama sudah keduniawian, pesantrennya dibangun dengan megah dan mewah, kampanye surga dari kota ke kota,” lanjut Bedjo.

Kiai Cungkring jadi ingat ungkapannya Ibnu ‘Iyad, “Man atha’a Allaha atha’ahu kullu syai.” Siapa yang mentaati Allah, maka segala sesuatu akan mentaatinya. Apa hubungannya dengan keadaan ini, barangkali siapa mentaati Ulama atau Kiai, maka segala hal yang buruk dapat diatasi. Namun kenyataan ini terkadang membuat mata ini meneteskan air mata dan kita semua tertawa lalu bilang zaman edan.

Diambilnya sebatang rokok lalu Kiai Cunkring menyulut dan menghisap rokok tersebut. “Lihatlah asap rokok tersebut, katanya lebih berbahaya untuk orang disekitarnya daripada penggisapnya.”

“Namun kita lebih asyik menikmati rokok bersama. Asap-asap menjadi kalimat telah membanjiri jiwa yang lapar dan kehausan. Join Broo…” (Lukni An Nairi)

14/08/2018
#KiaiCungkring

Post a Comment

0 Comments