Hikayat Jendral Kardus dan Jendral Kancil Memilih Wapresnya
Ini adalah kisah dibalik melodrama pemilihan wapres di kubu Bowo dan Dodo. Sebut saja kubu Bowo sang Jenderal Kardus dan Dodo sang Jenderal Kancil. Kardus tentu diviralkan oleh Andi Arief, dari Demokrat. Sedangkan Kancil dilafadzkan oleh Mister Nyebelin, yang awalnya PBB, lalu loncat ke Golkar, dulunya timses Bowo, lalu lompat jadi penyerang handalnya Dodo, dengan biaya transfer gaji Kantor Presiden seadanya, makanya ditambah gaji komisaris Angkasa Pura.
Baik Bowo Kardus ataupun Dodo kelimpungan memilih wapresnya. Intrik, sikut dan duit membayangi drama sinetron yang kejar tayang marathon dilakukan, dan sprint diujung menjelang finish pendaftaran capres di tanggal 10 Agustus 2018.
Bowo awalnya nggak PeDe maju pilpres 2019. Faktor usia, kesehatan, logistik dan hasil survei yang di bawah Dodo, membuatnya males-malesan. Tetapi kalau Bowo nggak maju, Partai Gerindra kehilangan kesempatan menjadi partai di atas 20%. Apalagi, nama Bowo selalu diurutan kedua di bawah Dodo. Belum ada tokoh lain yang muncul sebagai pesaing kuat sang Jendral Kancil.
Cerita dipersingkat menjadi seminggu menjelang 10 Agustus. Saat melodrama mencapai puncak klimaksnya. Bowo wira-wiri bertemu dengan berbagai kalangan. Hadir di forum ulama, menghasilkan nama Habib Salim Assegaf dan Ustadz Abdul Somad sebagai cawapresnya. Datang ke PKS nama Salim disodorkan. Bertandang ke PAN, nama Zulkifli Hasan disorongkan. Muncul ke Kuningan, Demokrat mendorong AHY. Bowo berusaha meramu semuanya.
Awalnya jurus yang disiapkan Bowo adalah mengajak Anies Baswedan. Sang Governor Jakarta yang diyakininya adalah pasangan pemenang. “Kalau pendukung saya dan Anies digabung, kekuatan kita akan dahsyat”, begitu katanya ke Anies di suatu weekend pada akhir Juli lalu.
“Secara urutan prioritas, cawapres saya nomor satu Anies, dua Sandi, tiga AHY”, kata sang mantan Panglima Kopassus menambah rayuannya. Anies bergeming. Dia memilih tetap di Jakarta.
Sebenarnya lain halnya kalau yang ditawarkan Bowo adalah Capres, Anies akan langsung mengiyakan. Menjadi cawapres bukan pilihannya. Selain dilarang mentor politiknya, JK yang mengatakan “Jangan maju kalau hanya jadi cawapres”, Anies pun tidak yakin bisa menang kalau berpasangan dengan Prabowo, “Itu pasangan pemenang, atau pecundang” kata Anies mengomentari seorang kawan yang menyodorkan pasangan Bowo-Anies.
Dengan penolakan Anies, Bowo akhirnya memerintahkan Sandiaga Uno menjadi pasangannya. Berbeda dengan Anies, Sandi adalah pasukan “apa kata Jendral” sajalah. Sebagai anak buah Bowo di Gerindra, Sandi manut dan patuh, di samping memang juga pingin.
Maka, jadilah Sandi digadang ke hadapan PKS dan PAN, sebagai alternatif wapres. Kedua partai relatif menerima. Yang masih coba menolak adalah Demokrat. Sejak awal, target Partai SBY adalah menggolkan AHY menjadi cawapres 2019, sebelum capres di 2024. Berbekal suara pemilu tertinggi kedua di bawah Gerindra, Demokrat merasa pantas mendapat jatah wapres. Apalagi, survei AHY memang lebih tinggi dibandingkan Salim dan Zulkifli.
Mendengar nama Sandi muncul, SBY tentu unhappy. Lewat Andi Arif, muncullah serangan “Jenderal Kardus”. Harapannya pasangan Bowo – Sandi bisa diaborsi, gagal sebelum lahir. Tetapi rupanya Bowo kekeh. Apalagi PAN dan PKS juga mendukung posisinya, menyebabkan Demokrat terkunci sendiri. Mau balik kandang ke Kubu Dodo sudah tak mungkin, apalagi pasti ditolak sang Ibu Suri Megawati. Bargaining Demokrat melemah, bahkan nyaris hilang.
Sebenarnya semua partai koalisi Bowo berkorban tidak jadi wapres, tetapi kubu Demokrat yang paling merasa sakit. Karena awalnya sudah yakin mewujudnya Bowo – AHY. Satu tim bahkan sudah selesai dengan program kerja Bowo – AHY, dikerjakan siang-malam dengan target dibawa sewaktu pendaftaran KPU, dan akhirnya hanya jadi tumpukan kertas di sudut bisu apartemen mewah di sekitar kuningan, di depan Pacific Palace.
Sang Jenderal Kardus akhirnya berhasil mempertahankan koalisinya, dengan pilihan wapres yang diinginkannya. Di sini kemampuan negosiasi dan kepemimpinan Bowo patut diacungi jempol, karena berhasil meyakinkan tetap berkoalisi dengan PKS-Salim, PAN-Zulkifli, bahkan Demokrat-SBY, sang politisi kawakan presiden dua periode. Meskipun sempat sedikit terguncang gempa dengan twit Jenderal Kardus, toh akhirnya Demokrat memutuskan mendukung Bowo, ketimbang kembali netral seperti di Pilpres 2014.
Dalam memilih cawapres ini leadership Bowo, dan kemampuannya untuk bernegosiasi dengan para Ketum partai koalisi terlihat lebih piawai. Terbukti, meski tidak menghasilkan cawapres nomor satu pilihannya, Anies Baswedan, Bowo masih berhasil menggolkan pilihan keduanya, Sandiaga Uno.
Cerita kepiawaian Jenderal Kardus Bowo itu berbanding terbalik dengan kubu Jenderal Kancil Dodo, yang menyerah tunduk atas tekanan partai koalisinya.
Drama paling seru tentu adalah pergantian mendadak dari Prof Mahfud MD ke Kiai Makruf Amin. Soal Prof. Mahfud menjadi cawapres sudah beberapa bulan ke belakang menggelinding di ruang publik. Dalam satu kesempatan, Kabin Budi Gunawan mengatakan, “Prof Mahfud tolong diaminkan doa ini, mudah-mudahan pas malaikat lewat. Insya Allah Prof Mahfud menjadi wapres. Ibu Mega dan Pak Dodo sudah bertemu dan setuju dengan Pak Mahfud”.
Yang juga tidak putus-putus terus komunikasi dengan Mahfud adalah Menko Luhut, sang kunci Inggris Jenderal Dodo. Bisa jadi rekan bisnis mebel, bisa KSP istana, boleh Menko Pokhukam, bisa pula Menko Maritim.
Sekjen PDIP Hasto menguatkan sinyal Mahfud dipilih. Katanya,
"Pak Mahfud, saya ini tidak mungkin datang tanpa restu Ibu Mega. PDIP sedang menyaring wapres. Orangnya mesti memahami perjuangan politik Soekarno dan berpandangan Islam seperti Bung Karno. Pak Mahfud termasuk yang masuk calon kuat kami. Siap-siap saja".
Sewaktu lebaran lalu, di Yogyakarta, Mensesneg bertandang ke rumah Mahfud, dan membawa pesan yang sama, bahwa dia adalah calon terkuat wapres Dodo. “Pak Mahfud siap-siap, kita sedang kerjakan”. Sambil Pratikno meminta tolong, “Tugas Pak Mahfud sekarang menjaga agar Pak JK tidak pindah memilih capres lain, kecuali tetap mendukung Pak Dodo”.
Berbagai perhitungan politik dilakukan hati-hati. Survei pun dilakukan oleh istana baik tertutup maupun terbuka. Yang terbuka sudah dipublish. Tetapi ada pula yang tertutup, salah satunya yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi, yang mewawancarai beberapa tokoh, dan mengukuhkan Mahfud MD sebagai kandidat wapres terkuat bagi Dodo.
Seminggu menjelang batas waktu pendaftaran, nama Mahfud sudah menjadi kandidat terpilih di kantong Dodo. Hambatan terbesarnya bukan tak ada, Muhaimin Iskandar belum setuju. Maka, Mahfud mendapatkan tugas untuk melunakkan Cak Imin, dan mereka akhirnya bertemu. Tapi rupanya, Imin tidak berhasil diyakinkan. Meski demikian, Istana mencoba jalan terus.
Dalam 3 x 24 jam menjelang pendaftaran ke KPU, Dodo sudah memerintahkan jajaran istana untuk berkoordinasi intensif dengan Mahfud sebagai kandidat wapres terpilih. Mensesneg Pratikno berulang kali bertelepon dengan Mahfud. Salah satunya meminta Mahfud untuk membuat surat pernyataan di atas meterai bahwa dia tidak akan menjadi Ketum PKB, dan merebutnya dari Cak Imin.
Rupanya Muhaimin takut betul, jika Mahfud akan menempuh jalur JK, yang menjadi Ketum Golkar setelah jadi wapres SBY di tahun 2004.
“Dibuat saja Prof Mahfud suratnya. Soalnya ini Muhaimin minta, biar tenang dia”, begitu kata Pratikno.
Maka surat itupun di antar ke Sekneg.
Kamis pagi, 9 Agustus Pak Mahfud diminta melengkapi dokumen persyaratan, CV diserahkan, surat keterangan dari Pengadilan Sleman, Yogyakarta dimintakan. Bahkan, baju kemeja putih pun diukur dan dijahitkan, model baju deklarasi favorit ala Dodo.
Tim Mahfud dan tim istana terus berkoordinasi teknis menjelang rencana deklarasi kamis sore itu. Teten Masduki salah satu yang menghubungi, meminta Mahfud sekitar jam setengah empat bergeser ke dekat restoran tempat Dodo dan para Ketum koalisi bertemu, untuk mengumumkan nama cawapres.
Yang tidak diketahui adalah, dari beberapa hari sebelumnya, bahkan lebih awal, sudah ada gerakan untuk menjegal Mahfud. Awalnya Cak Imin dan Cak Rommy berkoordinasi. Lalu mereka mengontak Airlangga ketum Golkar, untuk menolak Mahfud. Airlangga yang berfikir akan dapat bola muntah menjadi cawapres, bersedia bergabung. Itu sebabnya, kamis siang itu, Airlangga sowan ke Ibu Nuriyah Gus Dur, maksud hati meminta restu menjadi wapres Dodo. Apa daya tidak kejadian.
Berhasil meyakinkan Airlangga, gerakan diteruskan ke Ketum yang lain. Tentu yang menjadi kunci perlu digarap adalah Megawati. Maka, melalui Puan Maharani, pendekatan dilakukan. Puan yang ternyata tidak pro Mahfud setuju bahwa Mahfud adalah ancaman baginya dan PDIP di Pilpres 2024. Tugas mempengaruhi Megawati menjadi mudah lewat Puan, dan Jenderal Kancil Dodo, sang petugas partai, langsung bertekuk lutut mendengar titah sabda Ibunda Mega untuk mengganti Mahfud.
Pertimbangan pilpres 2024, kebutuhan suara islam, dan penolakan Mahfud membuka jalan bagi Kiai sepuh Makruf Amin menjadi wapres. Kamis sore itu, bada Ashar, Makruf mendapat telepon dari Pratikno untuk bersedia menjadi cawapres alternatif.
Yang aneh, sudah jelas akan ada pergantian, masih tega meminta Mahfud untuk stand by deklarasi dan datang ke dekat restoran Plataran Menteng. Raja tega memang sang Jenderal Kancil Dodo.
Maka jam lima lebih, setelah lama menunggu, telepon berdering ke Prof Mahfud mengabarkan dia batal. Terkejut dan kecewa, Mahfud memutuskan kembali ke kantornya di daerah Senen.
Dia duduk di kantor dan menonton siaran langsung TV yang menyiarkan Jokowi mengumumkan nama Makruf Amin sebagai wapresnya. Saat itu juga, banyak yang langsung menelepon Mahfud mengucapkan simpati dan kekecewaan mereka.
Meski tegar dan kuat di komentar publiknya, Mahfud sebenarnya shock dan terpukul. Bagaimana tidak sakit, ibarat tidak meminta lalu diajak menikah, undangan sudah disebar luas, pinangan sudah disampaikan, tiba-tiba sang pasangan pengantin yang awalnya mengajak secara sepihak membatalkan tanpa penjelasan sepatah katapun. Lalu, dengan enaknya menikah dengan pasangan yang lain.
Kepada salah satu penelepon, Mahfud mengatakan,
“Ini di depan sudah ada mobil jemputan dari Istana untuk mengantar saya bertemu Jokowi. Tapi saya belum siap untuk berangkat”.
Tentu saja hatinya masih sakit, Sang sobat mengatakan,
“Berangkat saja Prof. Paling tidak bertemu basa-basilah”, sambil menambahkan pesan,
“Satu saja pesan saya prof, jangan pindah menerima tawaran menjadi wapres atau tim sukses kubu Prabowo. Nanti Prof makin dianggap orang mutungan dan hanya cari jabatan”.
Tawaran ke Mahfud malam itu memang langsung datang lewat telepon dari seseorang untuk menjadi wapres Bowo. Pak Mahfud pun menolaknya, “Tidak baik secara etika” katanya. Sang tokoh membalas dengan sindiran, “Emangnya kubu Jokowi bertetika dengan mempermainkan Prof seperti sekarang”.
Yang aneh memang kubu Jenderal Dodo tidak ada sopan-santun sama sekali. Jokowi sudah tahu pembatalan Mahfud, tidak ada niat untuk memberi tahu lebih awal, sebelum dia mengumumkan nama Makruf. Pertemuan baru dilakukan setelahnya, itupun hanya sekitar lima menit. Tak lama. Memang Dodo meminta maaf, sambil menawarkan posisi kabinet. Raja tega. Tentu saja Mahfud menjawab diplomatis, “Tidak mengapa Pak”, sambil tidak memberi jawaban dan janji apapun soal tawaran kabinet.
Teten Masduki yang awalnya berkoordinasi teknis, menghilang. Hanya meninggalkan pesan, “Nanti yang komunikasi Pak Pratik ya”. Tanpa maaf, tanpa basa-basi. Pasti juga bingung, mau bicara apa.
Mensesneg yang memang paling kasihan. Perasaannya hancur, sangat tidak enak ke Pak Mahfud, “Kaki saya langsung lemes, perut saya sakit mules melilit” katanya menggambarkan tekanan mental yang dihadapinya, akibat pembatalan mendadaknya Pak Mahfud.
Malam itu dan terus seharian setelahnya, banyak pesan masuk ke hape dan akun media sosial Pak Mahfud. Meski membalas tidak kecewa, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Mahfud sebenarnya sangat sakit, marah dan kecewa. Wajar, dia juga manusia, yang diPHP dan dipermainkan oleh sang Jenderal Kancil Dodo, si raja tega kacungnya Mega.
Itulah drama politik pilpres edisi memilih cawapres, sampai bertemu pada kisah-kisah selanjutnya. (Sumber: Grup Whatshapp)
Ini adalah kisah dibalik melodrama pemilihan wapres di kubu Bowo dan Dodo. Sebut saja kubu Bowo sang Jenderal Kardus dan Dodo sang Jenderal Kancil. Kardus tentu diviralkan oleh Andi Arief, dari Demokrat. Sedangkan Kancil dilafadzkan oleh Mister Nyebelin, yang awalnya PBB, lalu loncat ke Golkar, dulunya timses Bowo, lalu lompat jadi penyerang handalnya Dodo, dengan biaya transfer gaji Kantor Presiden seadanya, makanya ditambah gaji komisaris Angkasa Pura.
Baik Bowo Kardus ataupun Dodo kelimpungan memilih wapresnya. Intrik, sikut dan duit membayangi drama sinetron yang kejar tayang marathon dilakukan, dan sprint diujung menjelang finish pendaftaran capres di tanggal 10 Agustus 2018.
Bowo awalnya nggak PeDe maju pilpres 2019. Faktor usia, kesehatan, logistik dan hasil survei yang di bawah Dodo, membuatnya males-malesan. Tetapi kalau Bowo nggak maju, Partai Gerindra kehilangan kesempatan menjadi partai di atas 20%. Apalagi, nama Bowo selalu diurutan kedua di bawah Dodo. Belum ada tokoh lain yang muncul sebagai pesaing kuat sang Jendral Kancil.
Cerita dipersingkat menjadi seminggu menjelang 10 Agustus. Saat melodrama mencapai puncak klimaksnya. Bowo wira-wiri bertemu dengan berbagai kalangan. Hadir di forum ulama, menghasilkan nama Habib Salim Assegaf dan Ustadz Abdul Somad sebagai cawapresnya. Datang ke PKS nama Salim disodorkan. Bertandang ke PAN, nama Zulkifli Hasan disorongkan. Muncul ke Kuningan, Demokrat mendorong AHY. Bowo berusaha meramu semuanya.
Awalnya jurus yang disiapkan Bowo adalah mengajak Anies Baswedan. Sang Governor Jakarta yang diyakininya adalah pasangan pemenang. “Kalau pendukung saya dan Anies digabung, kekuatan kita akan dahsyat”, begitu katanya ke Anies di suatu weekend pada akhir Juli lalu.
“Secara urutan prioritas, cawapres saya nomor satu Anies, dua Sandi, tiga AHY”, kata sang mantan Panglima Kopassus menambah rayuannya. Anies bergeming. Dia memilih tetap di Jakarta.
Sebenarnya lain halnya kalau yang ditawarkan Bowo adalah Capres, Anies akan langsung mengiyakan. Menjadi cawapres bukan pilihannya. Selain dilarang mentor politiknya, JK yang mengatakan “Jangan maju kalau hanya jadi cawapres”, Anies pun tidak yakin bisa menang kalau berpasangan dengan Prabowo, “Itu pasangan pemenang, atau pecundang” kata Anies mengomentari seorang kawan yang menyodorkan pasangan Bowo-Anies.
Dengan penolakan Anies, Bowo akhirnya memerintahkan Sandiaga Uno menjadi pasangannya. Berbeda dengan Anies, Sandi adalah pasukan “apa kata Jendral” sajalah. Sebagai anak buah Bowo di Gerindra, Sandi manut dan patuh, di samping memang juga pingin.
Maka, jadilah Sandi digadang ke hadapan PKS dan PAN, sebagai alternatif wapres. Kedua partai relatif menerima. Yang masih coba menolak adalah Demokrat. Sejak awal, target Partai SBY adalah menggolkan AHY menjadi cawapres 2019, sebelum capres di 2024. Berbekal suara pemilu tertinggi kedua di bawah Gerindra, Demokrat merasa pantas mendapat jatah wapres. Apalagi, survei AHY memang lebih tinggi dibandingkan Salim dan Zulkifli.
Mendengar nama Sandi muncul, SBY tentu unhappy. Lewat Andi Arif, muncullah serangan “Jenderal Kardus”. Harapannya pasangan Bowo – Sandi bisa diaborsi, gagal sebelum lahir. Tetapi rupanya Bowo kekeh. Apalagi PAN dan PKS juga mendukung posisinya, menyebabkan Demokrat terkunci sendiri. Mau balik kandang ke Kubu Dodo sudah tak mungkin, apalagi pasti ditolak sang Ibu Suri Megawati. Bargaining Demokrat melemah, bahkan nyaris hilang.
Sebenarnya semua partai koalisi Bowo berkorban tidak jadi wapres, tetapi kubu Demokrat yang paling merasa sakit. Karena awalnya sudah yakin mewujudnya Bowo – AHY. Satu tim bahkan sudah selesai dengan program kerja Bowo – AHY, dikerjakan siang-malam dengan target dibawa sewaktu pendaftaran KPU, dan akhirnya hanya jadi tumpukan kertas di sudut bisu apartemen mewah di sekitar kuningan, di depan Pacific Palace.
Sang Jenderal Kardus akhirnya berhasil mempertahankan koalisinya, dengan pilihan wapres yang diinginkannya. Di sini kemampuan negosiasi dan kepemimpinan Bowo patut diacungi jempol, karena berhasil meyakinkan tetap berkoalisi dengan PKS-Salim, PAN-Zulkifli, bahkan Demokrat-SBY, sang politisi kawakan presiden dua periode. Meskipun sempat sedikit terguncang gempa dengan twit Jenderal Kardus, toh akhirnya Demokrat memutuskan mendukung Bowo, ketimbang kembali netral seperti di Pilpres 2014.
Dalam memilih cawapres ini leadership Bowo, dan kemampuannya untuk bernegosiasi dengan para Ketum partai koalisi terlihat lebih piawai. Terbukti, meski tidak menghasilkan cawapres nomor satu pilihannya, Anies Baswedan, Bowo masih berhasil menggolkan pilihan keduanya, Sandiaga Uno.
Cerita kepiawaian Jenderal Kardus Bowo itu berbanding terbalik dengan kubu Jenderal Kancil Dodo, yang menyerah tunduk atas tekanan partai koalisinya.
Drama paling seru tentu adalah pergantian mendadak dari Prof Mahfud MD ke Kiai Makruf Amin. Soal Prof. Mahfud menjadi cawapres sudah beberapa bulan ke belakang menggelinding di ruang publik. Dalam satu kesempatan, Kabin Budi Gunawan mengatakan, “Prof Mahfud tolong diaminkan doa ini, mudah-mudahan pas malaikat lewat. Insya Allah Prof Mahfud menjadi wapres. Ibu Mega dan Pak Dodo sudah bertemu dan setuju dengan Pak Mahfud”.
Yang juga tidak putus-putus terus komunikasi dengan Mahfud adalah Menko Luhut, sang kunci Inggris Jenderal Dodo. Bisa jadi rekan bisnis mebel, bisa KSP istana, boleh Menko Pokhukam, bisa pula Menko Maritim.
Sekjen PDIP Hasto menguatkan sinyal Mahfud dipilih. Katanya,
"Pak Mahfud, saya ini tidak mungkin datang tanpa restu Ibu Mega. PDIP sedang menyaring wapres. Orangnya mesti memahami perjuangan politik Soekarno dan berpandangan Islam seperti Bung Karno. Pak Mahfud termasuk yang masuk calon kuat kami. Siap-siap saja".
Sewaktu lebaran lalu, di Yogyakarta, Mensesneg bertandang ke rumah Mahfud, dan membawa pesan yang sama, bahwa dia adalah calon terkuat wapres Dodo. “Pak Mahfud siap-siap, kita sedang kerjakan”. Sambil Pratikno meminta tolong, “Tugas Pak Mahfud sekarang menjaga agar Pak JK tidak pindah memilih capres lain, kecuali tetap mendukung Pak Dodo”.
Berbagai perhitungan politik dilakukan hati-hati. Survei pun dilakukan oleh istana baik tertutup maupun terbuka. Yang terbuka sudah dipublish. Tetapi ada pula yang tertutup, salah satunya yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi, yang mewawancarai beberapa tokoh, dan mengukuhkan Mahfud MD sebagai kandidat wapres terkuat bagi Dodo.
Seminggu menjelang batas waktu pendaftaran, nama Mahfud sudah menjadi kandidat terpilih di kantong Dodo. Hambatan terbesarnya bukan tak ada, Muhaimin Iskandar belum setuju. Maka, Mahfud mendapatkan tugas untuk melunakkan Cak Imin, dan mereka akhirnya bertemu. Tapi rupanya, Imin tidak berhasil diyakinkan. Meski demikian, Istana mencoba jalan terus.
Dalam 3 x 24 jam menjelang pendaftaran ke KPU, Dodo sudah memerintahkan jajaran istana untuk berkoordinasi intensif dengan Mahfud sebagai kandidat wapres terpilih. Mensesneg Pratikno berulang kali bertelepon dengan Mahfud. Salah satunya meminta Mahfud untuk membuat surat pernyataan di atas meterai bahwa dia tidak akan menjadi Ketum PKB, dan merebutnya dari Cak Imin.
Rupanya Muhaimin takut betul, jika Mahfud akan menempuh jalur JK, yang menjadi Ketum Golkar setelah jadi wapres SBY di tahun 2004.
“Dibuat saja Prof Mahfud suratnya. Soalnya ini Muhaimin minta, biar tenang dia”, begitu kata Pratikno.
Maka surat itupun di antar ke Sekneg.
Kamis pagi, 9 Agustus Pak Mahfud diminta melengkapi dokumen persyaratan, CV diserahkan, surat keterangan dari Pengadilan Sleman, Yogyakarta dimintakan. Bahkan, baju kemeja putih pun diukur dan dijahitkan, model baju deklarasi favorit ala Dodo.
Tim Mahfud dan tim istana terus berkoordinasi teknis menjelang rencana deklarasi kamis sore itu. Teten Masduki salah satu yang menghubungi, meminta Mahfud sekitar jam setengah empat bergeser ke dekat restoran tempat Dodo dan para Ketum koalisi bertemu, untuk mengumumkan nama cawapres.
Yang tidak diketahui adalah, dari beberapa hari sebelumnya, bahkan lebih awal, sudah ada gerakan untuk menjegal Mahfud. Awalnya Cak Imin dan Cak Rommy berkoordinasi. Lalu mereka mengontak Airlangga ketum Golkar, untuk menolak Mahfud. Airlangga yang berfikir akan dapat bola muntah menjadi cawapres, bersedia bergabung. Itu sebabnya, kamis siang itu, Airlangga sowan ke Ibu Nuriyah Gus Dur, maksud hati meminta restu menjadi wapres Dodo. Apa daya tidak kejadian.
Berhasil meyakinkan Airlangga, gerakan diteruskan ke Ketum yang lain. Tentu yang menjadi kunci perlu digarap adalah Megawati. Maka, melalui Puan Maharani, pendekatan dilakukan. Puan yang ternyata tidak pro Mahfud setuju bahwa Mahfud adalah ancaman baginya dan PDIP di Pilpres 2024. Tugas mempengaruhi Megawati menjadi mudah lewat Puan, dan Jenderal Kancil Dodo, sang petugas partai, langsung bertekuk lutut mendengar titah sabda Ibunda Mega untuk mengganti Mahfud.
Pertimbangan pilpres 2024, kebutuhan suara islam, dan penolakan Mahfud membuka jalan bagi Kiai sepuh Makruf Amin menjadi wapres. Kamis sore itu, bada Ashar, Makruf mendapat telepon dari Pratikno untuk bersedia menjadi cawapres alternatif.
Yang aneh, sudah jelas akan ada pergantian, masih tega meminta Mahfud untuk stand by deklarasi dan datang ke dekat restoran Plataran Menteng. Raja tega memang sang Jenderal Kancil Dodo.
Maka jam lima lebih, setelah lama menunggu, telepon berdering ke Prof Mahfud mengabarkan dia batal. Terkejut dan kecewa, Mahfud memutuskan kembali ke kantornya di daerah Senen.
Dia duduk di kantor dan menonton siaran langsung TV yang menyiarkan Jokowi mengumumkan nama Makruf Amin sebagai wapresnya. Saat itu juga, banyak yang langsung menelepon Mahfud mengucapkan simpati dan kekecewaan mereka.
Meski tegar dan kuat di komentar publiknya, Mahfud sebenarnya shock dan terpukul. Bagaimana tidak sakit, ibarat tidak meminta lalu diajak menikah, undangan sudah disebar luas, pinangan sudah disampaikan, tiba-tiba sang pasangan pengantin yang awalnya mengajak secara sepihak membatalkan tanpa penjelasan sepatah katapun. Lalu, dengan enaknya menikah dengan pasangan yang lain.
Kepada salah satu penelepon, Mahfud mengatakan,
“Ini di depan sudah ada mobil jemputan dari Istana untuk mengantar saya bertemu Jokowi. Tapi saya belum siap untuk berangkat”.
Tentu saja hatinya masih sakit, Sang sobat mengatakan,
“Berangkat saja Prof. Paling tidak bertemu basa-basilah”, sambil menambahkan pesan,
“Satu saja pesan saya prof, jangan pindah menerima tawaran menjadi wapres atau tim sukses kubu Prabowo. Nanti Prof makin dianggap orang mutungan dan hanya cari jabatan”.
Tawaran ke Mahfud malam itu memang langsung datang lewat telepon dari seseorang untuk menjadi wapres Bowo. Pak Mahfud pun menolaknya, “Tidak baik secara etika” katanya. Sang tokoh membalas dengan sindiran, “Emangnya kubu Jokowi bertetika dengan mempermainkan Prof seperti sekarang”.
Yang aneh memang kubu Jenderal Dodo tidak ada sopan-santun sama sekali. Jokowi sudah tahu pembatalan Mahfud, tidak ada niat untuk memberi tahu lebih awal, sebelum dia mengumumkan nama Makruf. Pertemuan baru dilakukan setelahnya, itupun hanya sekitar lima menit. Tak lama. Memang Dodo meminta maaf, sambil menawarkan posisi kabinet. Raja tega. Tentu saja Mahfud menjawab diplomatis, “Tidak mengapa Pak”, sambil tidak memberi jawaban dan janji apapun soal tawaran kabinet.
Teten Masduki yang awalnya berkoordinasi teknis, menghilang. Hanya meninggalkan pesan, “Nanti yang komunikasi Pak Pratik ya”. Tanpa maaf, tanpa basa-basi. Pasti juga bingung, mau bicara apa.
Mensesneg yang memang paling kasihan. Perasaannya hancur, sangat tidak enak ke Pak Mahfud, “Kaki saya langsung lemes, perut saya sakit mules melilit” katanya menggambarkan tekanan mental yang dihadapinya, akibat pembatalan mendadaknya Pak Mahfud.
Malam itu dan terus seharian setelahnya, banyak pesan masuk ke hape dan akun media sosial Pak Mahfud. Meski membalas tidak kecewa, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Mahfud sebenarnya sangat sakit, marah dan kecewa. Wajar, dia juga manusia, yang diPHP dan dipermainkan oleh sang Jenderal Kancil Dodo, si raja tega kacungnya Mega.
Itulah drama politik pilpres edisi memilih cawapres, sampai bertemu pada kisah-kisah selanjutnya. (Sumber: Grup Whatshapp)
0 Comments