Disqus for langgart

Fenomena Hybrid Culture dalam Masyarakat Semarang

Oleh: Drs Djawahir Muhammad, MPd


MEMANG sudah sejak dari awalnya Wong Semarang yang mayoritas wong Jawa, berdampingan hidup dengan wong Cina, wong Arab, wong Londo, juga dengan wong Madura, Batak, Minang, Bugis, dsb. Kisah tentang living together antar suku itu sekurang-kurangnya bisa kita baca dari pendaratan Cheng Ho di Bandar Simongan, Semarang pada tahun 1410, maupun kebesaran hati Syeh Jumadil Kubro membantu penduduk Kaligawe membuat sungai buatan Lependamel alias Kaligawe.

Diceritakan dalam legenda yang sudah menjadi mitos orang Semarang, bahwa laksamana dari Tiongkok itu terpaksa harus labuh jangkar di Semarang karena Ong King Hong seorang awak kapalnya sakit. Ia diturunkan di Bandar pelabuhan lama Semarang ketika itu untuk berobat, dan sesudah sembuh Ong King Hong (yang diabadikan dengan nama Kiai Jurumudi) tetap ingin tinggal dengan  penduduk setempat. 

Mereka berbagi bersama tentang tata cara bertani, ilmu  pengobatan, pertukangan, pelayaran, dsb. Pertemuan dua elemen budaya secara tradisional itu kemudian membentuk suatu entitas budaya baru yakni budaya Semarangan dalam dunia pengobatan:  herbal (jamu),  sinshe, atau dukun. Kegotongroyongan serupa ini juga berlangsung antara Syeh Jumadil Kubro yang penganjur agama Islam dengan penduduk kampung Terboyo pada awal terbentuknya kota Semarang, seperti diceritakan dalam “Semarang Riwayatmu Dulu” Amen Budiman (1978).

Kecenderungan  ini  diintrodusir oleh Canclini dan Honyeman  (2002) sebagai fenomena budaya hybrida  alias hybrid culture, meminjam istilah ilmu botani tentang budidaya persilangan antar jenis-jenis tanaman. Dalam bentuk yang lain, budaya hibrida antara elemen-elemen budaya antar etnis di Semarang bisa dilihat dari berbagai jenis kesenian, misalnya batik Semarangan yang secara mencolok mengambil warna merah batik Pesisiran yang terpengaruh unsur warna merah khas Cina. Juga melalui  kesenian  tradisional Gambang Semarang yang memadukan elemen  musik Jawa Cina maupun kehidupan sehari-hari para pemainnya yang merupakan   gabungan dua etnis yang berbeda latar belakangnya. 
     
Budaya hybrid orang Jawa dan orang Belanda yang oleh Soekiman (2000) diintrodusir sebagai budaya Indis,  bisa kita saksikan mulai dari  seni arsitektur yang kemlondo atau kami-londonen di Kota Lama atau Candi Baru. Juga  berjenis-jenis resep masakan Eropa semisal rijstafel, resoles atau kroket yang dijual di toko “Oen” di jalan Pemuda sejak tahun 1930.  Begitu pula dengan nasi kebuli khas Arab yang bisa dijumpai di beberapa warung makan di jalan Layur. Lunpia, tahu pong, siomay dan lontong cap gomeh yang khas Cina bisa dinikmati setiap waktu di “Restoran Semarang” milik Yongkie Thio di jalan Gajahmada,  atau martabak dari India Bang  Rahman di Pasar Yaik.

Dalam segi bahasa, perpaduan unsur bahasa antar etnis di Semarang dapat diamati dari bahasa percakapan sehari-hari kaum peranakan (descendant) hasil persilangan Jawa, Cina, Jawa, Arab,  Jawa – Belanda di toko-toko sepanjang jalan Beteng atau Pecinan,  atau sebagian penduduk asli yang memadukan bahasa Jawa pesisiran dengan bahasa Jawa pedalaman / kraton di kampung-kampung yang masih banyak dihuni para “priyayi”, semisal di jalan Halmahera, Sompok, gang Nangka, dll.  

Interaksi sosial antar etnis di Semarang juga mengemukakan adanya fenomena bahasa pasar, yakni  bahasa gado-gado  atau dialek Semarang yang  merupakan pencampuran kata, frasa, kalimat, bahkan umpatan khas Semarang, yang dipergunakan dalam berbagai aktivitas sosial dan perdagangan.  Dalam aktivitas sosial, bahasa gado-gado itu misalnya terdapat dalam ungkapan terima kasih begini: “Kamsia atas angpaonya  Koh, bisa saya pakai membayar sekolah anak saya”. Dalam aktivitas perdagangan, misalnya begini: “Ya sudah, kalau ente mau, ya nopeknggo. Kalau tidak soli-soli aja. kulakane aja sudah  mahal!”  Untuk mengumpat, terdapat bahasa umpatan khas Semarang  “kakekane!”  yang sudah sangat akrab bagi wong Semarang, meskipun maknanya sangat tidak sopan bagi  pemilik bahasa aslinya.  

Selain itu, dalam struktur bahasa Jawa yang benar, orang Jawa tidak terbiasa membahasakan dirinya sendiri dengan krama inggil, sebaliknya struktur itulah yang dipakai dalam dialek Semarang:  membahasakan dirinya sendiri ! Misalnya : “Estri kula wau nembe sare pak, lha kulo pas dahar siang,  hape kulo kentun wonten wande ….!” Atau ini:  “Lha ente mau nawar berapa, kalau nggocap nggak apalah, idhep-idhep bukak dasar, tengkyu!” kata bang Anas si penjual kacamata pada calon pembelinya. 

Kalau sampeyan (anda)  ingin menikmati perkampungan yang multi-etnis, seperti Cina, Banjar, dan Arab, cobalah tengok Kampung Melayu. Berbagai budaya berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat yang beragam. Di situ terdapat kampung-kampung kecil, seperti Pecinan, Kampung Banjar, Kampung Kali Cilik, Kampung Melayu Darat, Kampung Cirebonan, Kampung Melayu Besar, dan Kampung Pranakan. Setiap kampung memiliki citra etnis pada arsitektural rumah yang khas. Desain rumah Banjar misalnya, memiliki enam variasi yang unik. Selain itu, Kampung Melayu juga memiliki dua bangunan bersejarah, yakni Masjid Menara dan Kelenteng. Toleransi antarumat dapat menjadi contoh betapa kebinekaan yang dibalut dengan kedamaian, dapat menjadi kehidupan yang sangat indah.

Lunpia, salah satu makanan  produk budaya hybrid Jawa - CinaDari beragam bentuk ekspresi budaya hybrid di kota Semarang, agaknya persentuhan budaya Jawa dengan budaya Islam adalah yang paling kental. Implementasinya terdapat mulai dari upacara turun tanah (tedhak siti) bagi anak-anak, khitanan atau supit (khitan) bagi remaja, perhelatan nikah/upacara perkawinan, sampai upacara penguburan. Dalam upacara- upacara itu orang Semarang  dengan nyaman menjalankan bersama-sama  tradisi Jawa dengan tradisi Islam.

Mereka tidak  menyoalkan apakah hal itu diklasifikasikan sebagai khurafat atau sinkretik, yang penting dapat melakukannya dengan nyaman  ( menjalankan bersama-sama  tradisi Jawa dengan tradisi Islam).  Pada sisi yang lain orang Semarang memiliki warisan budaya sebagai seorang pedagang.  Seorang pedagang memiliki kebebasan lebih banyak dari seorang pegawai. Mereka boleh mengatur jadual kegiatannya sendiri, boleh menentukan sendiri berapa target penghasilannya.

Perilaku yang cenderung merdeka itu mungkin berasal dari lingkungan pesisir yang dipengaruhi ajaran agama Islam; tidak membeda-bedakan derajat alias egaliter. Mereka juga memiliki karakter terbuka atau equal, dapat menerima budaya dari manapun datangnya. Dalam ungkapan sederhana, orang Semarang menimbang  dirinya sendiri lebih suka menjadi majikan kecil daripada kacung besar.

Perilaku atau karekteristik orang Semarang mungkin berkait erat dengan tradisi Islam yang masuk ke wilayah ini sejak pertengahan  abad ke – 15, ketika Kiageng Pandan Arang – the founding father  semarang - mulai mengajarkan agama Islam di pulau Tirang, cikal bakal kota Semarang. Tradisi Islam yang dikembangkan beliau diikuti oleh para pelanjutnya, terutama  oleh masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kediaman para Bupati atau sekitar masjid, misalnya masyarakat kampung Kauman.  Pada awalnya, Kauman dihuni oleh para santri Ki Ageng Pandan Arang.

Masjid Agung Kauman dan Musala Kanjengan yang menjadi ciri khas kawasan permukiman di Jl Kauman ini sampai sekarang masih berdiri dengan anggunnya. Berdampingan dengan Musala Kanjengan, pewaris ayahnya, Ki Ageng Pandan Arang II, pernah membangun dalem (pendopo). Menurut peta pada tahun 1695, di sekitar dalem juga terdapat permukiman para abdi dalem. Jadi, di sinilah awal mula pertumbuhan kampung di kota Semarang. Tak hanya itu. “Embrio perkembangan arsitektur khas Semarangan bermula di Kauman,” kata Wijanarka dalam bukunya Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah (2007). Dosen Arsitektur di Universitas Palangkaraya ini mengungkapkan, pada tahun 1995, di Kampung Kauman terdapat 82 bangunan kuno berupa masjid dan rumah.

Pada generasi selanjutnya tumbuh pemuka-pemuka agama Islam baik yang menjabat sebagai Bupati Semarang maupun para Kiai, semisal Kiai Terboyo, Kiai Saleh Darat, Kiai Sepaton, Kiai Munawar Kholil dan kiai lainnya yang mengasuh  pondok pesantren masing-masing. Para bupati dan Kiai selain sebagai “pangreh praja” mereka juga penyebar agama dan budaya, sehingga apa yang mereka lakukan menjadi  panutan masyarakat sekitar, yakni gabungan  tradisi Jawa dan  Islam yang mengajarkan  empat sifat /karakter tersebut diatas.   Sementara itu orang-orang Tionghoa harus berterima kasih kepada Oei Tiong Ham karena dialah yang mempelopori orang-orang sebangsanya menggunakan pantaloon dan mencukur thaucang (kuncir), akibat  keterlibatan nenek-moyang mereka dalam Geger Pecinan yang sempat membikin pasukan Belanda kocar-kacir. 

Tidak berlebihan kalau disimpulkan bahwa wong  Semarang adalah komunitas antar etnis yang (pernah) tinggal di Semarang, memiliki sifat dan perilaku yang agamis, egaliter, equal, berjiwa enterprener,  dan mempunyai keterikatan / kepedulian secara historis dan kultural dengan kota dan/ masyarakat Semarang.

Deskripsi  ini tentu tidak hendak dipaksakan, tetapi lebih bermaksud sebagai bentuk penegasan bahwa meskipun berKTP Semarang, orang yang tidak punya kepedulian dengan perkembangan bentuk dan  identitas Semarang (yang teraba maupun yang berbentuk nilai) tidak layak mengaku sebagai orang SemarangTidak berlebihan kalau disimpulkan bahwa wong  Semarang adalah komunitas antar etnis yang (pernah) tinggal di Semarang, memiliki sifat dan perilaku yang agamis, egaliter, equal, berjiwa enterprener,  dan mempunyai keterikatan / kepedulian secara historis dan kultural dengan kota dan/ masyarakat Semarang. (Djawahir Muhammad, Kandidat dua program Doktor yakni Jurusan Manajemen Pendidikan, dan Kandidat Doktor pada jurusan  Pendidikan Seni, Universitas Negeri Semarang /Unnes)

Post a Comment

0 Comments