Disqus for langgart

Wisata Spiritual di Media Sosial Bersama Cebong dan Kampret

Saat ini kita masih menunggu hasil dari pesta demokrasi yakni pemilu tahun 2019. Namanya pesta pasti kita sedang merasakan kesenangan yang luar biasa. Setiap kesenangan seharusnya ada batasnya. Jika sampai pada puncak kesenangan itu namanya berlebihan. Sedangkan sikap berlebihan inilah yang tidak diperbolehkan. Sehingga kesenangan tersebut yang awalnya pesta bisa menjadi duka.

Apakah kita sedang berduka, dimana telah terjadi berbagai persoalan yang memilukan gara-gara pemilu.  Inikah duka yang harus kita terima. Kita benar-benar prihatin atas semua kejadian yang telah kita lalui. Semoga kita tetap diberikan kepala yang dingin, jika belum bisa dingin coba kompres dengan es batu. Sehingga kita dapat berfikir jernih, supaya duka tersebut menjadi berkah. Berkah bagi kita dan tentunya berkah bagi bangsa Indonesia.

Bangsa ini sebenarnya tidak mengalami persoalan besar baik di bidang hukum, politik, maupun ekonomi. Nyatanya bangsa ini masih memiliki kekayaan yang melimpah, bahkan soal utang kita masih dipercaya. Sesungguhnya persoalan besar yang melanda bangsa ini adalah persoalan jati diri kita. Kalau bahasa gaulnya, kita sedang mengalami krisis spiritual.

Kita memang berharap bangsa ini mampu membangun dan mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Tapi apakah harapan itu akan tercapai, jika kita masih berduka dan diri kita mengalami krisis spiritual. Beruntung kita masih punya harapan meski duka melanda. Untuk mengobati duka dan krisis tersebut selayaknya kita berwisata. Bukan sebagaimana duka juga pernah dialami Nabi Muhammad Saw ketika ditinggal paman dan istri tercintanya. Allah Swt memberikan hiburan wisata spiritual berupa peristiwa isra’ mi’raj.

Saatnya kita berwisata, sign in. Ambil nafas simpan dalam perut, keluarkan dengan perlahan, dan lepaskan segala persoalan. Wisata ini tidak perlu banyak biyaya, cukup dengan mengisi kuota. Ya kita akan menjalankan wisata spiritual di media sosial. Jika Rasulullah mengalami dua peristiwa besar yakni isra’ dan mi’raj. Di media sosial nantinya kita sepertinya juga mendapatkan dua peristiwa besar.

Kita sudah berada di tempat wisata yang tidak dikelola Dinas Pariwisata. Lihatlah ada yang buat status tentang makanan, sungai, dan bunga-bunga yang bermekaran. Lihatlah ada juga ibu-ibu yang menyusui anaknya, bapak dan anak naik sepeda, pemuda-pemudi di bawah pohon beringin, penyair membacakan puisi, dan sepasang kekasih yang menikmati secangkir kopi. Begitu indahnya media sosial.

Mari kita lanjutkan perjalanan ini. Ayo kemari jangan sampai tertinggal jauh dengan hasil dari teknologi ini. Namun apa boleh buat bahwa kita masih belum bisa melepaskan kesejatian diri kita, sehingga kita tertinggal jauh. Ketertinggalan ini mengakibatkan orientasi diri kita berubah menjadi materialis dan individualis.

Maka dua orientasi tersebut menjadikan kita di ruang-ruang kompetitif. Kita saling bersaing, pada gilirannya kita menjadi manusia-manusia yang kejam. Sebagaimana yang dikatakan Tomas Hobbes, “Homini Lupus Bellum Omnium Contra Omnes (manusia menjadi srigala untuk manusia lainnya, berperang antara satu dengan lainnya).”

Untuk sejenak marilah kita berteduh dan menghirup udara segar dengan kegembiraan. Biarkan Tomas Hobbes berkata manusia menjadi srigala. Sebagaimana kita diawal akan mengalami dua peristiwa besar, bukan peristiwa manusia menjadi srigala. Akan tetapi manusia menjadi kampret dan cebong.

Waktu istirahat kita cabut, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Lihatkan kedua peristiwa yang mewujud dua mahkluk dari planet namex tersebut. Dengan kekuatan super goku berupa meme-meme mereka saling bully, saling caci maki, saling membenci, menebarkan hoax. Teman jadi lawan, pertemanan berujung saling blokir. Hingga puncaknya saling lapor polisi. Peristiwa tersebut mulai memunculkan dampak lain yakni individu-individu yang gelisah, stres, dan rasa sepi yang tidak beralasan.

Maka ambilah huruf-huruf dan angka-angka tersebut. Lalu huruf dan angka rangkailah menjadi kedamaian. Jika tidak ada kedamaian, apa yang bisa kita nikmati. Apakah kita akan terus menikmati kecemasan, ketegangan, was-was, dan rasa cemas. Setelah kita rangkai menjadi kedamaian, sedikit demi sedikit saatnya untuk mengubah diri. Jangan terlalu sibuk memikirkan siapa presidennya, anggota DPR, dan para menterinya.

Ambilah hikmah yang terkandung dalam perjalanan ini. Sampai di sini apakah kita benar-benar telah menikmati wisata media sosial. Jangan lantas kita terperdaya ada surga dan neraka di media sosial.  Wisata spiritual di media sosial kita tidak mendapatkan suatu nikmat yang besar hanya pesan tentang kemanusiaan, jika kita bisa memanusiakan media sosial.

Selanjutnya marilah kita bawa nikmat pesan kemanusiaan tersebut. Lalu diri kita sudah saatnya berhias dengan akhlak yang baik. Sebab kedudukan akhlak menempati ruang yang penting, baik diri kita sebagai individu maupun anggota masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab rusaknya suatu bangsa dan masyarakat tergantung pada akhlak, begitupun rasa kemanusiaan kita.

Kita sudah sampai di akhir perjalanan wisata spiritual di media sosial. Mari kita logout dengan membaca doa, “Di mana kemanusiaan kita." (Lukni An Nairi)

Post a Comment

0 Comments