Menyoal Kembali Century
Oleh: Eko Tunas
HARUS diakui yang paling dibenci para nasionalis ialah kaum teknokrat. Di era yang disebut orde lama, Bung Karno paling benci kaum ini. Kaum yang semata memuja keilmuan, tanpa peduli pada kehidupan sosial masyarakat atau dampak fisik atau kejiwaan yang diakibatkannya.
Di era itu kaum ini mengelompok dalam satu organisasi non formal, yang kemudian dibubarkan Bung Karno. Di era yang disebut orde baru, kaum ini merebak menunjukkan giginya. Beberapa duduk di kementerian, atau di lembaga-lembaga keilmuan formal atau non formal.
Di era yang disebut era reformasi, kaum ini mewabah tak terelakkan. Tak lain karena para reformisnya datang dari kaum ini. Bahkan, tidak hanya lembaga keilmuan, tapi menteri hingga presiden berasal dari kaum ini.
Kita lihat saja kasus terbesar di era reformasi, yakni Century. Bagi tokoh nasionalis seperti Jusuf Kala, karena kecintaannya kepada masyarakat banyak atau bangsa, langsung menunjuk bahwa kasus Century adalah tindak perampokan uang negara.
Tapi bagi teknokrat macam Boediono (saat itu Wakil Presiden), itu sebagai kewajiban keilmuan yang mesti dilakukannya. Sebagai tugas atas keilmuan, dengan dalih penyelamatan dunia perekonomian dari bahaya (yang semata demi keilmuan disebut) sistemik.
Meski pun, apa yang dilakukannya – oleh Boediono dan cs-nya – (demi sukses satu partai baru saat itu dalam pemilu) meraibkan uang negara yang hakikatnya uang rakyat, sebesar 6, 5 triliun.
Celakanya ialah kalau pihak KPK, tidak terdiri dari orang-orang berjiwa nasionalis, tapi juga berasal dari kaum teknokrat. Maka, hasil dari penyelidikan kasus ini bisa ditebak. Apakah sebagai orang paling bertanggung-jawab, Boediono di tangan KPK selamat atau terjerat hukum korupsi.
Andai Boediono selamat, jelas Ketua KPK adalah orang-orang teknokrat yang tidak layak duduk di lembaga terhormat itu, dan saatnya diganti dengan orang-orang yang lebih berjiwa sehat dan mementingkan rakyat.
Di sini, ilmu demi ilmu digunakan sebagai modus penipuan tingkat tinggi, dan selalu korbannya adalah rakyat!
Oleh: Eko Tunas
HARUS diakui yang paling dibenci para nasionalis ialah kaum teknokrat. Di era yang disebut orde lama, Bung Karno paling benci kaum ini. Kaum yang semata memuja keilmuan, tanpa peduli pada kehidupan sosial masyarakat atau dampak fisik atau kejiwaan yang diakibatkannya.
Di era itu kaum ini mengelompok dalam satu organisasi non formal, yang kemudian dibubarkan Bung Karno. Di era yang disebut orde baru, kaum ini merebak menunjukkan giginya. Beberapa duduk di kementerian, atau di lembaga-lembaga keilmuan formal atau non formal.
Di era yang disebut era reformasi, kaum ini mewabah tak terelakkan. Tak lain karena para reformisnya datang dari kaum ini. Bahkan, tidak hanya lembaga keilmuan, tapi menteri hingga presiden berasal dari kaum ini.
Kita lihat saja kasus terbesar di era reformasi, yakni Century. Bagi tokoh nasionalis seperti Jusuf Kala, karena kecintaannya kepada masyarakat banyak atau bangsa, langsung menunjuk bahwa kasus Century adalah tindak perampokan uang negara.
Tapi bagi teknokrat macam Boediono (saat itu Wakil Presiden), itu sebagai kewajiban keilmuan yang mesti dilakukannya. Sebagai tugas atas keilmuan, dengan dalih penyelamatan dunia perekonomian dari bahaya (yang semata demi keilmuan disebut) sistemik.
Meski pun, apa yang dilakukannya – oleh Boediono dan cs-nya – (demi sukses satu partai baru saat itu dalam pemilu) meraibkan uang negara yang hakikatnya uang rakyat, sebesar 6, 5 triliun.
Celakanya ialah kalau pihak KPK, tidak terdiri dari orang-orang berjiwa nasionalis, tapi juga berasal dari kaum teknokrat. Maka, hasil dari penyelidikan kasus ini bisa ditebak. Apakah sebagai orang paling bertanggung-jawab, Boediono di tangan KPK selamat atau terjerat hukum korupsi.
Andai Boediono selamat, jelas Ketua KPK adalah orang-orang teknokrat yang tidak layak duduk di lembaga terhormat itu, dan saatnya diganti dengan orang-orang yang lebih berjiwa sehat dan mementingkan rakyat.
Di sini, ilmu demi ilmu digunakan sebagai modus penipuan tingkat tinggi, dan selalu korbannya adalah rakyat!
0 Comments