Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
(Jakarta Development Initiative)
Soal Jokowi memindahkan ibukota
sudah mendapat bahasan dari berbagai ahli. Yang paling idealis adalah pakar
hukum tatanegara, Irman Putrasidin, dalam pesan munajat konstitusi. Dia
mengaitkan kesakralan ibukota, yakni Jakarta, sebagai jejak perjuangan bangsa
melawan kolonialisme. Model analisis tanah dan kesakralannya, di mana tanah
tempat berpijak dianggap mewarisi nilai intrinsiknya, dibanding nilai nominal,
merupakan idealisasi kaum perjuangan dalam melihat tanah berpijak. Semakin
banyak nilai2 di tanah itu, seperti makam2 para orang suci, semakin bernilai
tanah tersebut.
Putrasidin menolak pemindahan
ibukota ke Kalimantan Timur, karena tempat baru itu tidak mempunyai akar
sejarah yang kuat sebagai centrum perekat bangsa.
Pandangan Fahri Hamzah lebih pada
aspek legal dan prosedur. Fahri mengatakan bahwa Jokowi perlu merubah 8 Undang
Undang sebelum bicara memindahkan ibukota, atau secara sepihak menyatakan
ibukota baru ada di Kalimantan Timur.
Pandangan Ridwan Kamil, Gubernur
Jabar, lebih pada desain ibukota baru. Menurutnya ibukota baru lebih baik
mencontoh Washington D. C, ibukota Amerika, yang proporsi penduduk dan luas
tanah seimbang untuk mudah dikembangkan. Kutai Kartanegara dan Penajem, dengan
lahan yang disediakan 200.000 Ha versus penduduk 1,5 juta tidak ideal. Akan
mubazir seperti ibukota pindahan Brazil, Brasilia, yang kosong atau juga
Ibukota pindahan Burma, Naypyidaw. Brasilia dan Naypyidaw menurut RK kurang
benar perencanaannya. Ukuran lahan menurut TK cukup sekitar 35.000 HA untuk
rencana ibukota baru, agar tidak mubazir.
Pandangan lainnya, Muhammad Said
Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, lebih kepada siapa pembiaya pembangunan
ibukota baru ini? Menurutnya dalam situasi ekonomi yang sulit, biaya hanya
mungkin dilakukan dengan hutang dan kombinasi dengan menjual asset negara
ketangan asing di Jakarta.
Aspek teori dalam Pemindahan
Ibukota
Pemindahan ibukota sering terjadi
diberbagai negara2 di dunia dan berlangsung sejak dahulu kala. Western Roman
Empire (Kerajaan Roma) misalnya memindahkan ibukota dari Milan ke Revenna
Ketika Revenna diserang kaum barbar, ibukota dipindahkan ke Konstantinopel,
tempat di mana Kerajaan Roma Timur berada. Indonesia sendiri memindahkan
ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, pada awal kemerdekaan, karena Belanda
merebut ibukota Jakarta dan tidak mengakui Republik Indonesia.
Di luar urusan perang atau
penkalukan, Edward Schatz, Southern Illinois University, dalam “When capital
cities move: the political geographic of nation and state building”, 2003,
mengetengahkan disposisi bahwa pemindahan ibukota umumnya terkait dengan “state
and nation building”. Schatz menggambarkan fenomena berbeda negara di eropa
dengan non-eropa dengan merujuk pada Westphalia (German abad ke 17). Di eropa ”
state and nation building” telah berlangsung lama sebelum muncul negara modern
seperti yang kita kenal saat ini. Urusan di sana adalah pemantapan negara
berbasis spasial atau territorial. Sementara di luar eropa, khususnya setelah
era kolonial, membentuk negara setelah merdeka berarti membangun struktur
kenegaraan dan birokrasi terlebih dahulu. Lalu diikuti dengan proses “nation
building”. Ketika batas teritorial semakin tegas, maka isu ibukota menjadi
penting.
“Why move a capital city?”
Menurut Schatz ada 3 pandangan terkait pertanyaan “mengapa pindah ibukota?”,
pertama, “Authoritarianism and Authoritarian Preference”. Hal ini terkait
dengan keangkuhan pemimpin suatu negara, yang pendapatnya di luar akal sehat
(“against common sense, popular opposition, and the advice of wiser
policy-makers”). Kedua adalah alasan “rational-technical”. Alasan ini adalah
alasan yang umumnya diberikan pemerintah seperti menumbuhkan pembangunan
wilayah dan efiensi administrasi negara. Ketiga adalah ” the political
geography nation and state building”. “State building” maksud dia “I mean the
effort to undermine alternative, rival power bases and developviable
institutions”. Artinya negara dimaksudkan untuk menjadi institusi supermasi
yang tidak boleh ditandingi institusi lainnya. Sedangkan “nation building”
maksudnya “I mean the effort to secure the loyalty of broadpopulations
inhabiting the territory represented by the state”. Artinya membangun loyalitas
rakyat.
State Building ini dilakukan
dengan “” Building the state via patronage, symbolic state building &
controling cultural diversity”.
Schatz yang melakukan studi kasus
atas Kazakhstan, yang memindahkan ibukota dari Almity ke Astana, menemukan
beberapa hal yakni 1) adanya konsolidasi kekuasaan Nursultan, sang presiden,
semisal adanya marginalisasi birokrasi lama yang berorientasi eks sovyet dan
membangun sistem patron-client baru berbasis kepentingan ekonomi, 2)
menempatkan Kazakhstan sebagai bangsa eurasia, ketimbang Kazak atau Rusia.
Pemikir lainnya, Vadim Rossman,
seorang Professor berkebangsaan Russia, pengarang buku ” Capital Cities:
Varieties and Patterns of Development and Relocation”, dalam citylab. com,
mengetengahkan proses pindah ibukota akan berlangsung baik jika lokasi baru
memberikan keseimbangan dan inklusif pada sebanyak2nya level terkait
“territorial, economic, ethnic & religious”.
Kota baru juga jangan diharapkan
langsung berfungsi. Sedikitnya butuh satu abad untuk melihat ibukota baru
sukses, seperti Washington D.C.
Misteri Pemindahan Ibukota
Pemindahan ibukota adalah
pekerjaan besar dan sakral. Jokowi sudah mengumumkan permintaan ijin ke DPR RI
pindah ibukota dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu.
Dalam pidato diistana beberapa
hari lalu, Jokowi juga mengumumkan lokasi baru ibukota Indonesia, yakni di
Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara, Kaltim.
Mengapa Jokowi tidak memasukkan
agenda besar negara ini dalam NAWACITA? sebagai acuan gagasan besarnya selama
periode 2014-2019. Anehnya juga selama debat pilpres 2019 juga Jokowi tidak
memasukkan agenda pindah ibukota dalam narasi besarnya.
Jika melihat alasan standar
pemindahan ibukota yang dikeluarkan pemerintahan, seperti kata Schatz ulasan di
atas, itu merupakan alasan teknis rasional di mana beban Jakarta sudah tidak
mampu lagi menopang keberadaan ibukota.
Pindahnya ibukota juga akan
menjadikan adanya pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa yakni Kalimantan Timur,
dengan investasi awal lebih kurang Rp. 400 Triliun.
Pertanyaannya adalah apakah langkah
sampul Jokowi ini sudah ada sejak 2014? Merujuk dibuangnya Andrinof dari posisi
menteri PPN/ Bappenas (di mana Andrinof dan pemikir utamanya Dr. Jehansyah
Sirgar dalam visi 2035 selalu berteriak pindah ibukota), memperlihatkan tidak
mungkin Jokowi menyimpan ide itu saat itu. Bahkan, Jokowi kala itu masih
meyakinkan rakyat Indonesia bahwa urusan Jakarta akan mudah dibangun setelah
dia menjadi Presiden.
Kemungkinan besar Jokowi
menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu
Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI. Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan
reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan
dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung.
Terkait dengan teori Schatz
tentang konsolidasi power, sosok Anies di Jakarta dengan Jakarta sebagai
ibukota, akan menciptakan “matahari kembar” pada rakyat Indonesia, seolah di
ibukota ada dua pemimpin besar. Dengan ibukota di Kaltim dan Jokowi di sana
sebagai figur tunggal, maka kepemimpinan Jokowi akan maksimal.
Lalu, apabila Jakarta dihilangkan
statusnya sebagai ibukota, maka Anies sebagai Gubernur akan kehilangan
“kewibawaan legalnya”, yang kemudian eksistensinya akan juga seperti kota2
provinsi lainnya yang diatur oleh UU Pemerintahan Daerah saja.
Melucuti Anies Baswedan
Motif utama Jokowi memindahkan
ibukota sudah dijelaskan pemerintahan secara resmi. Namun, dampak politik bagi
Anies Baswedan akan segera terasa.
Pengumuman ibukota baru yang
dilakukan Jokowi baru2 ini telah mendelegitimasi keberadaan Jakarta sebagai
ibukota. Istilah Irman Putrasidin tentang kesakralan ibukota Jakarta akan
meredup. selanjutnya, UU Ibukota akan dicabut dan DPR yang didominasi rezim
Jokowi akan membuat UU Ibukota di Kaltim tersebut.
Dengan rezim UU Pemerintahan
Daerah, Anies tidak mengontrol lagi Jakarta seperti saat ini. Jakarta akan
mempunyai kepala2 daerah tingkat 2, yang dipilih langsung. Izin reklamasi
nantinya bisa saja dilakukan setingkat walikota bukan Gubernur.
Dari sisi politik, Anies akan kehilangan
derajat lebih tinggi dari gubernur2 lainnya. Biasanya Gubernur DKI akan dominan
dalam forum antar gubernur.
Begitu juga “effort” atau usaha
Anies bertarung merebut kepemimpinan Jakarta pada 2017 lalu sebagai jembatan
bagi batu lomptan menuju kepemimpinan nasional, seperti yang dilakukan Jokowi,
sudah atau akan kehilangan jejaknya. Bahkan, bisa sia sia.
Penutup
Membahas pemindahan ibukota
menurut Schatz dapat melihat multi perspektif. Namun, memilih sebuah perspektif
menjadi penting untuk melihat kausalitasnya.
Pendukung Jokowi akan melihat
sisi baik pemindahan ibukota, khususnya dari teori Edward Schatz tentang
“Rational-technical”. Namun, dari kaum oposisi, pelucutan kewenangan Anies
Baswedan di Jakarta akan mengurangi kewibawaan Anies sebagai tokoh besar ke
depan.
Namun tetap kita berharap
kemashalatan pindah Ibukota ini buat kebaikan bangsa dan mendorong Anies
Baswedan melakukan refleksi arah dan strategi politiknya ke depan.
0 Comments