Disqus for langgart

Ramalan Presiden

Oleh: Eko Tunas


SAYA mesti ke Tegal, pulang ke kota kelahiran. Saya mesti melakukakan sesuatu. Sebabnya saya dengar, Presiden telah mengendalikan pemerintahan dari kampung halamannya. Apakah keadaan sudah benar-benar genting, selama kepemimpinannya yang baru seumur jagung. Segera saya mengajak infinita kembar saya bertaksi ke stasiun. Di dalam taksi seperti biasa dia mulai merecoki, protes mengapa mesti ke Tegal, tidak ke Solo, kota asal Presiden?

Naik Kaligung lagi, tohoknya, mengapa tidak naik bis saja. Alasannya, kalau naik kereta dia hanya akan melihat sawah dan laut. Kalau naik bis dia bisa melihat ruang-ruang kota. Apalagi naik bis lebih keren dari naik kereta, sungutnya. Seperti di Jepang, ingatnya, bahkan naik bis lebih mahal dari naik pesawat. Sebab pesawat hanya sarana transpotasi, sedangkan naik bis lebih sebagai touring.

“Ah sudah, kamu diam..!” sergah saya.

Telaknya, “Bos ndeso sih...”

“Justru karena memilih naik kereta, pertanda saya orang kota yang rindu pemandangan desa,” tukas saya. “Kamu yang ndesit, mangkanya kamu selalu ingin melihat keramaian kota..!”

Dia jadi diam membeku oleh dingin ac taksi. Tapi betapa pun saya sangat membutuhkannya. Dia kembaranku, kakang kawah adi ari-ariku, yang bisa meramal kejadian bakal terjadi, weruh sadurunge winarah. Peramal atau paranormal mana pun kalah dalam kecanggihannya melihat saat depan. Misalnya dia telah meramal bahwa, di 31 Desember akan terdengar terompet akhir, dan di malam hari langit dipenuhi pijaran api disertai suara-suara ledakan. Meski sekarang masih bulan Juni, saya percaya ramalannya itu bakal terbukti.

* * *

DI DALAM kereta api Kaligung saya lihat Infinita – saya biasa memanggilnya Nita – pura-pura tidur dalam kekecewaan. Saya mesti melunakkan hatinya dengan cara mau menawari dia mau minum atau makan. Maklum, dalam hal urusan perut dia biangnya. Saya dengar suara petugas kereta menawarkan, “kopi..kopi...” Begitu Si Petugas berseragam muncul dengan trolinya, saya segera menawari, “kamu mau ngopi..?”

Nita menggeleng sambil tetap memejamkan mata. Pemandangan di luar jendela kaca tidak ia pedulikan.

Begitu pun saat petugas lain muncul menawarkan, “pop mi..pop mi...”

“Kamu mau pop mi?” tawar saya.

Dia tetap menggeleng sambil tetap merem, meski saya lihat dia memicingkan mata melihat jajaan dalam troli.

“Nita..pliis..,” pinta saya, “kamu kan tahu kita diburu waktu. Naik kereta hanya dua jam-an. Naik bis bisa lima sampai enam jam, belum lagi kalau macet...”

"Sudah, nggak usah dibahas,” telaknya dengan muka judes membudutkan mulut. Justru tampak macan dia kalau begitu, manis cantik, dengan kegalakan duduk seenak mininya. Ya, infinitaku memang cewek, itu sebabnya saya tergolong cowok jerry girl.

Saya mulai memohon, “tapi kamu tahu kan, bagaimana nasib Presiden?”

“Ribuan orang akan menyerbunya.”

“Haa..?!”

“Konsentrasi masyarakat itu terdiri dari tukang becak hingga politikus,” tambahnya, “dan mereka melakukan penyerbuan bertahap dari pagi hingga malam...”

“Tapi Presiden kan punya paspanpres, juga Pangab dan Kapolri pasti akan mengerahkan pengamanan?”

“Ribuan pengamanan pun tidak akan mampu melakukan pencegahan,” tandas Nita. “Lebih dari itu, akan terjadi penumpukan pendaratan piring terbang...”

“Ahh, kamu sok seperti peramal dari Taman Eden itu...”

* * *

SUNGGUH ini tidak main-main lagi, batin saya, dalam kegelisahan memikirkan nasib Presiden. Begitu sampai di Stasiun Tegal, saya menerobos jubelan penumpang. Sebagai paranormal garis luar Presiden, saya harus melakukan tindakan cepat dan tepat. Apalagi seperti yang diramalkan infinita, penyerbuan itu akan terjadi besok. Seraya melompat ke becak langganan saya diikuti Nita yang kebesaran bokong, segera saya menelpon Presiden.

“Halo, Pak Presiden.”

“Halo...”

Saya pun menjelaskan mengenai ramalan infinta, “saya mesti mengirim kekuatan dari Tegal, Pak.”

“Kekuatan apaa..?”

“Saya akan mengirim jins dan ponggol setan..!”

“Nggak usaah, dalam jumpa pers saya sudah menegaskan, saya menolak segala macam kirimaan...”

“Lalu apa yang mesti saya lakukan?”

“Yaa, sudah..kirim doa sajaa...”

“Siap, Pak!” sahut saya seraya menutup ponsel, seraya mengerundel, “Presiden satu ini dalam keadaan genting pun tetap kalem-kalem saja..!”

Sampai di rumah keluarga, segera saya memenuhi perintah Presiden. Saya berdoa di kuburan – rumah keluarga saya memang dekat makam. Tak lupa saya menaburkan kembang telon dan membakar kemenyan – Nenek saya memang berjualan kembang telon dan kemenyan.

Nita protes, “huhh..sirik..!”

Saya menyanggah, “ketimbang e-loe, keseringan membuang tikus mati di kuburan..!”

* * *

BESOKNYA saya memantau keadaan Presiden melalui televisi. Sejak pagi hingga malam semua stasiun tv menayangkan, dan: ramalan infinita benar-benar terjadi! Tapi berkat doa saya, Presiden sekeluarga selamat, tidak kurang suatu apa. Setelah semuanya berakhir, malam itu saya segera menelpon Presiden.

“Selamat, Pak.”

“Yaa, terimakasiih...”

“Selamat beristirahat, Pak.”

“Ya, nantii, ini saya sedang makan..prawan ayu..kalau mau nanti saya kirim...”

“Haa..prawan ayu..?”

Mendengar saya menyebut perawan ayu, Nita mendadak berang, “kamu mau selingkuh yaa..?!”

“Tidaak..!”

“Ayo, ngakuuu..!”

Saya lari ke kuburan.

Nita mengejar, "awas, kamuu!"

"Jangaan..!"

Nita mencabut patok nisan kayu, lalu sertamerta memukulkan ke arah saya. Saya menghindar, Nita mencecar, saya lari di antara nisan-nisan, sambil tetap menelpon Presiden.

Teriak saya, "toloong..tolooong..!!"

Seru Nita, "minta tolong sana sama prawan ayuu..!"

Tentu saja tidak ada tetangga yang mau menolong, sebab mereka tentu mengira ini suara-suara setan.

Nita terus mengejar dalam kegelapan makam, meski sudah saya jelaskan apa yang dimaksud perawan ayu.

Saya dengar melalui ponsel Presiden tertawa.....


Semarang, 12 Juni 2015

Post a Comment

0 Comments